👀 Cukup Tau - Duapuluh Tujuh

1.4K 184 11
                                    

Aku hanya diam, berjalan di belakang Kak Avin dan Sandra yang selalu mepet seperti dilem.

Agak panas sih melihatnya, tapi aku mencoba membiasakan diri. Menggeleng dan mendengus.

Untuk apa sih aku memperhatikan gerak-gerik mereka berdua. Lagi pula apa urusanku dengan ini? Aku ini kenapa sih.

Masih mendumel karna sedari tadi malah memikirkan Kak Avin dan Sadra. Sesampainya di depan ruang rawat inap Pak Dera aku dibuat bingung karna Nena memberikan satu pertanyaan padaku.

"Apa yang paling Kak Hana takuti?"

Aku mengernyit, berpikir apa yang paling aku takuti sejak dulu hingga sekarang. Dengan suara pelan aku menjawabnya.

"Gelap."

Nena dan Ersy menatapku kemudian mereka kembali saling menatap, dan itu membuatku tambah bingung saja. Ada apa pula dengan mereka berdua ini.

"Sekarang aku tanya sama kamu. Apa yang paling kamu takuti, Na?" tanya Ersy menatap Nena dengan tatapan menodong.

"Ular," jawab Nena sambil merinding sendiri membuatku dan Ersy terkekeh melihat tingkahnya.

Tidak lama Kak Avin menyuruh kami untuk masuk. Sebelum masuk kami mengetuk pintu terlebih dulu.

Saat kakiku melangkah masuk, aku langsung dibuat terdiam membisu. Ketika pandanganku menangkap seorang wanita paruh baya yang ingin mengupas mangga dengan pisaunya.

Beliau segera berdiri dan tersenyum, menyambut hangat kedatangan kami semua. Dan itu membuatku semakin membencinya.

"Kak Han."

Aku tersentak kaget dan tanganku langsung ditarik oleh Nena. Bergabung dengan yang lainnya.

Ternyata Iren dan Geno juga sudah sampai duluan. Terbukti dengan adanya mereka yang sudah duluan berada di dalam ruang rawat inap Pak Dera.

Kami semua memberikan salam sopan. Meskipun hanya sekedar menunduk singkat.

"Kami dari rekan sekantor Pak Dera, Bu. Ingin memberikan bela sungkawan atas sakitnya Pak Dera," ucap Kak Avin memberitahukan maksud kedatangan kami.

Kami yang mendengarnya langsung mengernyit. Bertanya-tanya akibat kalimat ambigu yang Kak Avin ucapkan.

Meskipun begitu, wanita paruh baya itu mengangguk dan tersenyum. Mengambil dua parsel buah yang Iren dan Ersy berikan.

Aku kira hanya ada dia saja. Tapi tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan keluarlah pria paruh dengan setelan kaos polos abu-abu dan celana levis selutut.

Meskipun sudah sangat lama aku tidak melihat mereka, namun ingatanku masih sangat jelas akan perbuatan apa yang mereka lakukan padaku.

Dan jujur saja, aku beluk siap untuk bertemu kembali dengan mereka semua. Mereka yang memberikan masa lalu kelam dalam hidupku, dan mereka yang memberikanku trauma akibat kejadian beberapa tahun lalu.

"Pak, saya izin keluar sebentar," ujarku dan langsung berbalik menuju keluar. Tidak peduli dengan tatapan mereka yang bertanya-tanya kepadaku.

Di luar aku menghela napas, berjalan menuju kursi yang ada dan duduk di sana. Kedua tanganku bergerak untuk memegang kepalaku yang merasa pening seketika.

Ini waktunya gak tepat. Kepalaku sedang penuh dengan Kak Avin, dan kenapa aku malah dipertemukan kembali dengan mereka. Waktunya salah.

Tanganku menutupi wajahku dan memejamkan mataku, mencoba menghilangkan sesuatu yang membuat dadaku begitu sesak sekarang.

"Kalau dunia sekecil ini, bisahkah kau tidak mempertemukanku dengan mereka? Kalau benci bisa menjadi cinta, lantas bagaimana dengan cinta yang berubah menjadi kebencian?"

Cukup Tau [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang