👀 Cukup Tau - Tigapuluh

1.4K 168 54
                                    

Aku mengernyit dan mencoba menyesuaikan cahaya yang menusuk saat mataku terbuka.

Berasa kemarin habis melakukan pekerjaan yang berat, membuat badanku menjadi sakit dan kepalaku pening.

"Ini kan?"

Aku bertanya-tanya saat menatap satu ruangan, ini bukan kamarku. Dan apartemenku tidak memiliki ruangan bercat nuansa abu-abu.

"Kamu sudah bangun."

Aku menoleh, melihat Kak Avin yang baru saja keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju lemari besar tepat di hadapanku.

Semuanya normal sih, tapi yang tidak normal ketika dia keluar hanya dengan handuk putih yang terlilit dipinggangnya.

Aku segera menutupi wajahku dengan bantal. Apa dia tidak malu keluar hanya dengan memakai handuk begitu? Di depanku pula.

"Mau sarapan apa?" tanyanya bersuara kembali.

"Pake dulu bajunya, Pak!" protesku karna tidak nyaman dengan pemandangan di depan sana yang mengharuskan aku tidak melihat ke arah sana.

Terdengar dengusan sinis dari arahnya, dan tidak lama suara derit pintu lemari terdengar.

"Mau sarapan di luar atau saya masakin?"

Aku mengernyit, menurunkan bantalku dan tersentak saat melihat Kak Avin yang memakai kaosnya. Membuat tanganku kembali menaikkan bantal untuk menutupi wajahku.

Kenapa dia tidak bilang sih jika belum memakai bajunya dengan lengkap. Lagian tidak tau malu sekali Kak Avin, ganti baju di depan aku. Aku juga kan perempuan.

Sreg.

Aku melotot dan menatapnya yang sudah duduk di hadapanku, tangannya menurunkan banyak yang sedari tadi menutupi wajahku.

"Pilih mana? Makan di luar, atau di sini, hm?" tanyanya lagi dengan senyuman tipis.

Bukannya menjawab pertnyaannya, aku malah terdiam. Memandangi Kak Avin yang entah kenapa terlihat tidak biasa sekarang.

Apa seganteng ini Kak Avin jika dilihat pagi hari dan sesudah mandi? Bahkan aku bisa mencium harum khasnya yang terus menusuk ke hidungku.

"Kok diem?" tanyanya dan menyentil dahiku pelan membuatku mengerjapkan mata sambil berdeham berkali-kali, menetralkan degupan jantungku yang tidak bisa diajak kompromi.

"Memang Bapak bisa masak?" tanyaku yang mungkin terdengar meremehkan dia. Terlihat jelas dari responnya yang tersenyum miring.

"Lihat saja," sahutnya dan menarik tanganku, menuntunku menuju kamar mandi dan mendorong tubuh pelan untuk masuk kemudian dia menutup pintunya. "Mandi yang bersih, iler kamu menganggu."

Mendengarnya aku langsung memegangi ujung bibirku dan berlari menuju cermin yang ada. Mendengus sebal saat menyadari betapa jeleknya aku saat ini.

Rambut berantakan seperti rambut singa, wajah kusut tanpa make-up, dan yang lebih parah ini.

Tanganku segera menyalakan keran air dan mengusap ujung bibirku dengan kasar. Mencoba menghilangkan bekas pulau kapukku.

Malu sekali aku kepada Kak Avin. Kenapa harus dia sih yang melihat ini semua. Bagaimana jika dia tambah ilfil padaku.

"Bodoh," umpatku pada diriku sendiri dan mencuci wajahku dengan air.

Mengernyit saat melihat dua sikat gigi yang ada di hadapanku. Sikat gigi Kak Avin ada dua? Yang benar saja.

"Oh ya saya lupa. Saya sudah siapin sikat gigi buat kamu. Warna pink, jangan pakai warna hijau. Itu punya saya!"

Aku menoleh ke arah pintu dan tanpa sadar ujung bibirku tertarik membentuk senyuman mendengarnya.

Cukup Tau [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang