16. Nikah?!?

4.1K 303 35
                                    

“Mbak Syifa?” Tak kalah dengan Raffa, Fattah pun juga merasakan hal yang sama.

“Kamu, tolong pegangin payung,” ucap Raffa seraya meyodorkan payung ke arah Fattah.

Fattah pun menurut dan dia hanya mengamati Raffa yang mencoba menyelamatkan Assyifa.

Dengan tangan kekarnya Raffa menyelimuti tubuh Assyifa dengan menggunakan handuk yang dia bawa tadi. Kemudian, dia menggendong tubuh kecil Assyifa dan membopongnya menuju ke dalam mobil.
“Tolong kamu, payungi kami dulu,” ucapnya.

Meski dengan perasaan sedikit cemburu melihat interaksi keduanya tak membuat Fattah membantah kepada permintaan Gusnya. Hingga mobil berwarna hitam itu berlalu‚ dia hanya mampu menatap kosong terhadap kepergiannya.

🍁🍁🍁🍁🍁

Dengan panik dan tanpa memikirkan apa pun kecuali keselamatan Assyifa, Raffa bergegas memasuki rumah sakit dengan Assyifa di gendongannya. “Suster! Tolong ....”

Melihat keadaan yang nampak genting pun, seorang berseragam putih membawa brankar rumah sakit untuk mengangkut Assyifa di atasnya dan kemudian di bawa menuju ruang pemeriksaan. “Mohon maaf, Pak ... tunggu di luar saja,” ucap suster itu sopan.

Raffasya hanya menghembuskan napas berat. Dia duduk di kursi. Kepalanya tertunduk. Tangannya meremas rambutnya kesal hingga tak lagi berbentuk. “Aku nggak bakal maafin diri aku sendiri, kalo sampek kamu kenapa-kenapa, Syif,” batinnya di bawah alam sadar miliknya.

Tak berselang lama, seorang perempuan berhijab dengan mengenakan jas berwarna putih keluar dari ruangan yang tadi dimasuki oleh Assyifa. Raffa pun segera bangkit dan menatap cemas kepada dokter itu. “Gimana keadaannya, Dok?”

“Bapak suaminya, ya?” tanya dokter itu. Raffa hendak menjawab, Namun ..., “Keadaannya belum cukup parah. Asam lambungnya hanya naik. Tapi, jika terus dibiarkan bisa berakibat fatal pada keselamatan nyawa istri Bapak. Pola makannya diatur, jangan sampai mentalnya tertekan dan sebisanya kalo dia merasakan nyeri jangan dibiarkan. Saya bisa menduga, parahnya penyakit tadi itu karena istri Bapak yang sering mengabaikan kesehatannya sendiri juga rasa sakit yang dia rasakan.”

Raffa menghembuskan napas lega. Setidaknya dia tahu, Assyifa kini baik-baik saja. Dia bersyukur, nyawa gadis itu tidak sampai terancam.

“Kalau begitu saya permisi, Pak,” ucapnya langsung berlalu pergi.

Raffasya masih mencoba menetralkan degup jantungnya. Dia pun akhirnya memutuskan pergi.

🍁🍁🍁🍁🍁

Kelopak mata itu berkedip untuk beberapa kali. Dia ingin membuka matanya, namun silau yang menghalau membuatnya tidak bisa melakukan hal demikian.

“Udah sadar?” tanya seseorang yang secara lirih mampu dia dengar. Berkat suara itu dia pun mengusahakan dirinya sendiri untuk bisa membuka kelopak matanya yang menempel bak perangko.

Ruangan bernuansa putih dengan kombinasi biru muda tersuguh di hadapannya. Bau obat-obatan menyeruak masuk ke dalam lubang penciumannya. Dengan susah payah, dia mencoba menggerakkan jari-jari tangannya.

“Alhamdulillah ....”

Suara itu kembali dia dengar. Dia pun menoleh ke arah suara. Alisnya tertaut. Penglihatannya masih kabur. Dia pun mengkerjap-kerjapkan matanya guna memperjelas sesuatu yang kini tengah mendatanginya. “Gus Raffa?” ucapnya tidak percaya.

“Ini, makan‚” ucapnya dengan meletakkan sekantung kresek di atas nakas.

Tak lama seorang suster masuk dengan memberikan bubur khas rumah sakit. Raffa menerimanya dan membawanya ke dekat Assyifa. Gadis itu kian melotot. “Saya nggak mau makan itu, Gus! Nggak mau pokoknya,”  ucap Assyifa dengan tangan yang menutup mulut seluruhnya.

Rafassya & Assyifa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang