3. Karma atau Anugerah?

3.7K 299 27
                                    

Alexandra berjalan ke arah kamar anaknya. 20 menit lagi adzan Maghrib akan berkumandang. Namun, dia sama sekali tidak melihat batang hidung anaknya.

“Ck, kok nggak ada di mana-mana ...?” gerutunya kesal.

Alexandra dengan kesal membuka pintu kamar anaknya yang tidaklah pernah dikunci. Seketika kekesalannya itu meluap saat melihat anakknya itu tertidur pulas di atas ranjangnya. Hembusan napas panjang keluar begitu saja. Dia nyalakan lampu kamar dan kemudian duduk di samping anakknya. Tangannya terulur untuk membelai pipi anaknya lembut. Dia tersenyum hangat

Raffasya yang merasakan tidurnya terusik pun mulai mengkerjap-kerjapkan matanya. Hingga cahaya lampu menusuk lewat celah kelopak matanya. Dia langsung terkejut dengan mendapati kehadiran Ummiknya. Sontak dia langsung bangun dan duduk di tengah ranjang.

“Kayak lihat hantu aja kamu ....”

Bukannya menjawab, Rafassya justru menggosok-gosok matanya. “Ummik, tumben bangunin?”

Alis Alexandra justru menaut sebal. “Kamu sendiri tidur kayak kebo!”

Rafassya memandang ke arah Ummiknya. Kenapa beliau memakai muqena?

Deg!

Dia menoleh ke arah jam dinding. Jam menunjukkan waktu 17.45 waktu istiwa'. Sontak dia langsung ingat, bahwa waktu Maghrib akan segera datang. Dengan cepat pun dia turun dari ranjang untuk mengambil wudhu.

Alexandra yang melihatnya justru terkekeh. Dia bangun dari ranjang. “Raf, kalo mau ke masjid, jangan lewat depan. Lewat belakang aja, jalan di samping dapur itu. Di depan udah banyak mbak-mbak santri yang lewat buat ke masjid.” Tanpa menunggu jawabannya Alexandra segera pergi.

Masjid tempat para santri dan santriwati sholat itu ada di samping ndalem (rumah Azriel). Jika santriwati ingin pergi, maka mereka akan lewat depan ndalem dari samping kanan. Sementara santri putra, mereka akan lewat gerbang pondok putra. Yang mana gerbang tersebut berada di samping kiri masjid.

Raffa segera bergegas keluar dari kamar. Jika harus lewat jalan belakang makan akan lebih memakan banyak waktu. Dan hal itu dapat menyebabkan dia menjadi ma'mum masbuq.

Dia berjalan tergesa-gesa menuju pintu keluar. Dia mencari keberadaan sandalnya. Nihil, tidak ada di sana. Dia berpikir, apa jangan-jangan dibawa Abahnya ke pengajian?

“Ck, Abah ... sandal sendiri kok bisa lupa.”

Karena waktu yang sudah sangat mepet, dia pun terpaksa mengambil bakiyak keramat milik Abahnya. Kenapa dinamakan keramat? Karena Abahnya sendiri juga tidak mengizinkan siapa pun menyentuh sandal itu.

“Ngapunten, Abah ... kepepet,” batin Raffa.

[“Maaf, Abah ... kepepet,”]

Karena menggunakan bakiyak, membuat Raffa tidak bisa berjalan cepat. Pemakai bakiyak harus berjalan dengan hati-hati, tidak pecicilan.

Pecicilan .... kata-kata itu mengingatkan Raffa pada seseorang. Siapa lagi kalau bukan, Assyifa? Hanya dia yang secara terang-terangan menunjukkan keabsurdan dan betapa bar-barnya dia kepadanya.

Saat sudah akan melewati dapur ... dia terkejut dengan kehadiran Assyifa yang tiba-tiba menghadang jalannya dengan sapu di genggaman tangannya.

Kedua alis Raffa tertaut. “Pucuk dicinta ulam pun tiba ... panjang umur ini orang ...,” batinnya berucap. Meski di sisi lain, dia juga bertanya-tanya tentang sapu yang tengah Assyifa pegang erat. Itu untuk apa?

Matanya kian melebar saat tiba-tiba Assyifa mengangkat sapu itu tinggi-tinggi seolah siap memukulnya. Dan benar saja ....

Bugh! Bugh!

Rafassya & Assyifa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang