Tangis Assyifa pecah. Dia membekap mulutnya sendiri. Meremas rok yang dia kenakan hingga lecek. Alexandra yang melihatnya pun merasa pilu. Dia kembali memeluk Assyifa bak putri kandungnya.
“Kamu manggilnya abah sama ummik, ya?” tanya Azriel yang sedari tadi diam.
Assyifa menganggukkan kepalanya dengan masih menangis.
Azriel tersenyum hangat. “Abah kamu masih bisa bertahan. Dia meninggal sehari setelah kecelakaan. Dia ... menitipkan surat untuk kamu.”
Tangis Assyifa sedikit reda. “S ... su ... surat?”
Azriel tersenyum dan memberikan secarik kertas yang telah terlipat rapi. Warnanya putih yang sudah menguning akibat waktu yang terus berlalu.
“Kamu simpen di mana, Bah? Kok, tidak pernah lihat?” tanya Alexandra dengan raut bingung.
“Ada di perlengkapan sholat yang selalu tak bawa. Kayak sajadah, shorban ... surat itu ada di sana,” sahut Azriel.
Assyifa membukanya dengan perlahan mengabaikan percakapan kedua pasutri itu yang masih berlanjut.
Tulisan yang begitu rapi menyapa pandangannya. Dia bahkan tidak menyangka jika abahnya bisa menulis serapi ini.
Sayangnya Abah ....
Baik-baik, ya, Nak ...
Maaf, Abah gagal melindungi ummik kalian
Kalian harus tetap melanjutkan hidup kalian, ya
Anak Abah sama Ummik pasti bisa hidup mandiri, jaga diri baik-baik, makan yang teratur ya
Yang rajin ibadahnya, jangan males-males.
Abah rasa, Abah juga tidak bisa bertahan terlalu lama
Abah sedih kalau harus meninggalkan anak-anak Abah yang Abah sayang, tapi, ini takdir, Nak ....
Kalian harus menerimanya, jadi anak yang kuat, tabah dan tidak mudah menyerah, ya?
Maaf karena kami gagal bertahan untuk kalian ....Untuk kedua putra putriku
Dari Abahnya ....
Luqman An-Nukron.Tangis Assyifa lagi-lagi pecah. Hatinya semakin nelangsa setelah membaca surat itu.
Alexandra kembali memeluk Assyifa yang masih menangis hebat. “Jangan merasa kalau kamu sendiri, sekarang bahkan sejak dulu ... kamu punya Ummik ... Abah ..., kami ada untuk kamu, Nduk.”
Assyifa menatap Alexandra dengan mata yang berkaca-kaca. “Terimakasih banyak, Ummik ... hiks ... hiks ....”
Alexandra tersenyum hangat dan mengelus punggung yang bergetar itu dengan halus.
Assyifa melepas pelukannya. “Apa Ummik tahu, di mana makam mereka?”
Alexandra seketika tersenyum hangat. “Tahu ... makamnya ada di Indonesia.”
Hati Assyifa terasa menghangat. Setidaknya satu beban hidupnya telah hilang dari punggungnya. Dia bisa sedikit bernapas lega.
“Mau ke sana?” tanya Alexandra
Assyifa tersenyum hambar. “Pasti mau, Mik ... tapi, saya takut kalau sampai Pak Lek Liam bawa saya pergi.”
Alexandra terdiam.
“Jika kita ke Indonesia, dan Liam meminta Assyifa untuk kembali padanya. Kita dengan terpaksa harus melepas Assyifa,” ucap Azriel.
Alexandra menatapnya tajam. Dia sungguh tidak rela jika Assyifa kembali pada pria tak berperasaan itu. “Kenapa tidak dilaporkan saja? Laporan atas tindak penganiayaan,” usulnya.
Assyifa seketika menggeleng kuat. “Jangan, Mik ... saya masih mau tahu di mana Mas Shakeel. Yang tahu cuman Pak Lek Liam, kalau dia di penjara, jelas dia tidak mau memberi tahu, Mik ....”
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafassya & Assyifa [END]
Roman d'amourGeng yang terdiri dari pria-pria tampan mungkin cukup umum dan sering menjadi sorotan hayalak juga alur cerita. Lalu, bagaimana jika cerita ini justru menceritakan geng yang terdiri dari enam orang perempuan? Di pondok pesantren Mambaul Ihsan terdap...