27. Bantuan berujung Bencana

2.4K 224 21
                                    


Seorang lelaki dengan setelan jasnya memasuki kawasan restoran berbintang lima. Langkanya langsung membawanya menuju lantai paling atas di mana ayahnya sendiri yang ingin bertemu dengan seseorang. Katanya calon istri ayahnya, atau bisa dibilang calon ibunya. Calon ibu tirinya. Ibu kandungnya sudah meninggal lima belas tahun yang lalu.

Dia Rosyid. Awalnya dia memang sangat tidak menyetujui. Namun, lambat laun, dia akhirnya menurut. Kasihan jika ayahnya menduda lama-lama.

“Maaf, saya terlambat,” ucapnya dengan langkah tergesa-gesa. Hingga netranya bertemu pandang dengan seorang gadis yang sebelumnya pernah dia temui. Gadis itu selalu tampak cantik menurutnya. Meski tanpa makeup yang berlebihan.

“Rosyid?”

“Assyifa? Kamu anaknya Om Liam ternyata?”

Makan malam dilanjutkan dengan hikmat. Selepas makanan telah tandas. Orang-orang itu, seperti Liam, Hasna juga Ayahnya sama-sama berbincang seputar bisnis.

Hingga pikirannya menjurus pada satu hal. Bukankah Ayahnya datang kemari untuk bertemu dengan calon istrinya? Lalu, di mana calonnya?

Makan malam seputar bisnis telah berhenti. Rosyid hanya menyimak tanpa ada rasa minat. Hingga atensinya beralih kala Liam memanggil Assyifa. Benar juga, Assyifa bagai mayat hidup sedari tadi.

“Kamu masih ingat soal perjodohan yang sudah Papa atur, ‘kan?”

Mata Rosyid kian melebar. Jangan bilang jika Assyifa adalah perempuan yang akan segera dinikahi Herman. Semua pertanyaannya seketika terjawab kala Liam mengatakan, “Kamu bakal Papa jodohkan sama Herman teman Papa.”

Dia sendiri dapat melihat raut terkejut dari gadis berparas ayu itu.

“Pa--” Dia hendak protes, sayang Liam segera memotong ucapan yang sudah di ujung lidah itu.

“Kamu belum lupa dengan kesepakatan kita, ‘kan?”

Rosyid menatap mereka bingung. Kesepakatan apa?

Assyifa menoleh padanya. “Saya boleh bicara dengan Rosyid sebentar?” tanyanya meminta izin pada Herman.

Herman ayahnya itu tersenyum. “Tentu boleh. Masak dengan calon anak sendiri tidak boleh,” ucapnya semanis gula darah.

Rosyid yang mendengarnya hanya memutar bola matanya malas. Dia segera mengikuti langkah Assyifa dan meninggalkan mereka. Assyifa membawanya menuju lantai paling bawah. Di mana ada taman di sana. Saat dirasa sudah menemukan tempat yang cocok. Gadis itu berhenti. “Mau bicara apa?” tanya Rosyid.

Assyifa lantas langsung menangis. Tubuhnya terduduk di kursi taman dengan kedua tangan yang rapat menutup seluruh wajahnya. Terdengar isakan lirih darinya.

“Lo kenapa?”

“Ros, bantuin gue ... gue nggak mau nikah sama bokap lo!”

Rosyid hanya diam. Dia sendiri tidak tahu harus menanggapinya apa.

“Emang lo mau punya nyokap kayak gue? Selisih umur kita cuma lima tahun! Kita nggak mungkin berada dalam satu rumah dengan posisi gue sebagai nyokap lo dan lo sebagai anak gue,” ucapnya dengan uraian air mata.

“Gue harus apa? Bokap gue itu batu! Nggak bisa dibilangin, Syif ...,” ucap lelaki itu jujur.

Assyifa kembali terisak. “Kalo gue nikah sama dia, gue nggak bisa hiks ... gue ... nggak hiks ... nggak bisa nerusin sekolah gue hiks ...,” ucapnya diselingi isakan pilu.

Rosyid mengembuskan napas panjang. “Oke, bakal gue usahain,” ucapnya.

Assyifa menatanya dengan senyum lebar. Dia sangat bahagia. “Makasih, Ros.”

Rafassya & Assyifa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang