56. Bunuh Diri

2.7K 247 28
                                    

Assyifa tersenyum senang saat mangkuk berisi bubur ayam sudah tandas dimakan suaminya.

Ini sudah seminggu setelah kepulangan mereka dari rumah sakit. Kondisi Raffa pun sudah mulai membaik. Assyifa sendiri pun merasa demikian. Dia jadi lebih tenang setelah Liam sudah di penjara. Namun, sayangnya Hasna juga harus dipenjara atas tuduhan menutupi kejahatan Liam juga atas tuduhan pembunuhan Shakeel.

Hasna bisa saja jujur bahwa dia tidak membunuh anak itu, dan anak itu masih hidup agar hukumannya diringankan. Namun, dia lebih memilih untuk tidak jujur. Dia takut, anak-anak buah Liam yang masih berkeliaran di luar sana justru mencari Shakeel dan malah membunuhnya.

Assyifa sempat protes atas diamnya Hasna. Tapi Hasna tetap bersikukuh untuk diam.

“Mau nambah lagi?” tanya Assyifa.

Raffa menggeleng sambil menautkan kedua alisnya. “Aku udah kenyang.”

“Ihh, makan yang banyak, Mas … biar cepet sembuh,” ujar Syifa.

Raffa menghela napas panjang. Dia sangat mengerti ucapan Syifa itu. Assyifa benar-benar tidak sabar untuk mencari keberadaan Shakeel. Namun, karena kondisi Raffa yang bisa dikatakan belum sembuh, membuat Assyifa harus bersabar dan menunggu kesembuhan suaminya.

Raffa menggenggam erat tangan Assyifa. “Sabar, ya? Kalo udah sembuh, pasti aku anter ke Semarang buat ketemu sama Mas Shakeel.”

Assyifa tersenyum tulus. “Denger posisi Mas Shakeel di mana aja udah bikin aku seneng banget kok, Mas ... semoga pas sampek ke sana, Mas Shakeel belum pergi ke mana-mana.”

Raffa tersenyum kecil. “Aamiin ... kita doain aja.”

Assyifa terdiam sejenak. “Jadi kangen sama ummik sama abah. Nanti kalo udah sembuh total aja kita ke sana, ya, Mas?”

Raffa lagi-lagi tersenyum. “Iya, Minggu depan insyaallah.”

“Trus ke Semarangnya?” tanya Assyifa polos.

“Bentar lagi ujian. Kamu bisa kecapekan kalo ke Semarang. Apalagi keadaan kamu yang lagi hamil. Kamu bisa stres nanti. Nggak baik buat anak kita. Mending pas liburan aja.”

Assyifa memberengut kesal. “Satu bulan lebih dong, Mas?” tanya Assyifa.

Raffa membelai pipi Assyifa lembut. “Aku punya banyak kerjaan. Nggak bisa ditinggal lama-lama. Kalo udah liburan, aku juga bisa tenang ninggalin pondok. Soalnya Fiya di ndalem, jadi ada yang jagain ummik sama abah.“

“Iya, juga ...,” sahut Assyifa lirih, “Kalo udah liburan Mas Raffa juga nggak akan bingungin kerjaan yang ada di sini. Jadi bisa fokus sama nyari Mas Shakeel.”

Raffa tersenyum sedikit lebar. “Good girl,” pujinya.

Assyifa tersenyum lebar. Jarang sekali lelaki itu memujinya. “Kalo gitu, aku mau ke belakang dulu buat cuciin mangkuk kamu.”

Assyifa bangun, namun Raffa tiba-tiba malah mencegahnya, “Sini bentar.”

Alis Assyifa tertaut. “Apa?”

“Jangan nanya, sini bentar,” ucap Raffa gregetan.

Assyifa akhirnya menghela napas panjang. Dia pun kembali duduk di samping Raffa memandang letih pria itu.

Raffa menunjukkan senyum tipisnya. Tangannya terangkat bergerak mendorong kepala Assyifa untuk mendekat ke arahnya untuk dia cium keningnya.

Assyifa seketika memejamkan matanya erat saat merasakan kehangatan tiada tara yang melingkupi dirinya.

Kepala Raffa bergerak ke samping kanan. Membisikkan sesuatu yang mampu menyihir Assyifa. “Kamu wanita hebat, wanita yang paling kuat yang pernah aku kenal. Tolong, tetep bertahan ... bayangin aja, kalo suatu saat nanti ... Mas Shakeel ada bareng kita ... main sama anak-anak kita. Dan aku yakin, itu bakal jadi titik puncak kebahagiaan kamu.”

Rafassya & Assyifa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang