Semua orang berkerudung putih itu menghembuskan napas lega. Ketegangan yang menyelimuti otak mereka terlepas begitu saja ketika sang ustadz menutup pelajaran dengan ucapan Wallahu a'lam bisshowaab. Bel tanda istirahat telah berbunyi, menciptakan suasana ramai di seluruh penjuru kelas.Sebagian besar dari mereka keluar berhamburan menuju kantin. Sementara beberapa masih bermalas-malasan di tempat duduk mereka masing-masing.
Assyifa menatap jam dinding di kelasnya. Dia harus segera bergegas menuju dapur karena ada tugas yang memanggilnya.
“Eh, Syif! Tumben lo aktiv? Biasanya juga lo tidur pas istirahat,” ucap Azizah sekenanya.
Assyifa memandang jengah ke arah teman laknatnya. “Gue ada urusan di dapur, nanti jam kedua gue telat kayaknya.”
“Ya Kariim ... bangga gue punya temen nggak kebo kek lo,” puji Alif mengandung hinaan.
“Anjir mulut lo pada‚ minta di staples!" hardik Assyifa kesal.
“Ya nggak papa, biar makin sexy bibir gue‚” ucap Aini sambil berkaca.
“Ah, udahlah, gue udah telat. Nanti malah ditungguin--”
“Kak Syif, dipanggil ke dapur,” potong seorang adik kelasnya Assyifa.
"Nah, ‘kan .... Ya udah, gue pamit dulu.” Assyifa langsung pergi meninggalkan kelas dengan berlari membelah orang-orang yang hendak ke kantin.
“Ditungguin siapa?” tanya Aini kepo.
“Kang-kang santri dapur kalik.”
“Ada acara apa?” tanya Azizah.
"Haulnya Embah Buyut ...‚” jawab Farida.
“Kenapa ditungguin kang-kang santri?” tanya Aini masih kepo.
“Ya namanya juga mau ada acara besar, Ai ... ya, butuh keperluan dapur banyak. Palingan juga kang-kang yang mau ke pasar. Mereka nungguin si Syifa buat ambil daftar belanjaan.”
“Owh, gitu ....”
“Mangkanya jadi orang jangan sukanya cuman tidur di pondok! Sekali-kali nengok ke dapur.”
“Nyenyenye.”
“Ah, sialan lo!”
🍁🍁🍁🍁🍁
Seorang laki-laki berperawakan tinggi dengan kulit kuning Langsat itu tengah bersandar di dinding bercat putih itu. Dia menunduk menatap kosong ke arah tanah yang tengah ia pijaki.
Samar-samar pendengarannya menangkap sebuah suara langkah kaki yang begitu cepat. Pasti, pelakunya tengah berlari. Dia menoleh ke arah sisi kanannya saat suara langkah kaki tersebut seketika berhenti di 3 meter samping kanannya.
Dia tersenyum tipis sembari terus memandang gadis itu. “Akhirnya, sampek juga, Mbak‚” ucapnya lembut.
Assyifa tidak menjawab. Tubunya masih membungkuk 90 derajat dengan dia yang rakus menghirup udara di sekitarnya.
Lelaki itu terkekeh. “Pelan-pelan, Mbak ....”
Dengan dada yang kembang kempis, dia menegakkan tubuhnya dan menatap lelaki di hadapannya. “Maaf ... telat ..., Kang ... Fattah ....”
Seseorang yang diketahui bernama Fattah itu tersenyum lembut. “Iya, dipuas-puasin dulu napasnya, baru ngomong.”
Assyifa nyengir. “Kang Fattah mau ambil daftar belanjaan, ‘kan?”
“Iyalah, nggak mungkin mau ngambil kamu buat dijadiin istri,” batin Fattah dengan terus memandangi gadis blasteran itu.
“Kang! Woy! Jawab!” maki Syifa kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafassya & Assyifa [END]
RomanceGeng yang terdiri dari pria-pria tampan mungkin cukup umum dan sering menjadi sorotan hayalak juga alur cerita. Lalu, bagaimana jika cerita ini justru menceritakan geng yang terdiri dari enam orang perempuan? Di pondok pesantren Mambaul Ihsan terdap...