Acara haul akan dilaksanakan nanti ba'da isya'. Digelar di lapangan luas yang letaknya ada di depan ndalem utama. Tenda-tenda yang biasa digunakan untuk hajatan telah didirikan kokoh. Di sisi selatan terdapat panggung dengan hiasan-hiasan tangan murni buatan santri dan santriwati Pondok Mamba'ul Ihsan. Kursi-kursi telah berjajar rapi di depan panggung guna para penonton untuk duduk. Pedagang-pedagang juga telah bersiap dengan dagangan mereka yang akan dijajakan. Dari penjual Pop Ice, cilok, sosis bakar, kebab, hamburger dan lain sebagainya.
Begitupun dengan pondok. Kesibukan telah menghiasi pondok induk sejak tiga hari yang lalu. Dan hari ini adalah puncaknya. Puncak kesibukan dan akhir dari lelah mereka yang telah turut membantu jalannya acara.
Alexandra berjalan tergesa-gesa dengan Elrumi di gendongannya. Elrumi yang terlihat santai di gendongannya. Mungkin biskuit di tangan balita itu yang mebuat dia tenang, tidak rewel.
"Raffa ...!" panggil Alexandra.
Raffa, lelaki itu tengah duduk tenang di tempat yang sering digunakan santriwan santriwati untuk mengaji kitab kuning. Di sampingnya terdapat secangkir kopi yang telah dingin, tidak nampak sama sekali uap yang mengepul dari atas cangkir itu. Di pangkuannya terdapat bantal, yang mana di atas bantal itu terdapat kitab yang lembar-lembar di kitab itu berwarna kuning dengan rentetan tulisan Arab beserta ma'na gandulnya.
Mendengar panggilan itu, dia menoleh dan mendapati sang ibu tengah kesusahan dengan Elrumi di gendongannya. "Dalem?"
Alexandra berhenti di samping Raffa yang masih duduk tenang di bawahnya.
"Ada apa, Mik?"
"Tolongin Ummik, ya?"
"Tolongin apa?" Raffa bertanya-tanya dalam hati. Apa yang bisa Raffa lakukan? Memasak? Dia bisa merasa insecure jika memasak bareng kerabat di sana. Dia tidak terlalu pandai memasak. Jujur saja, hatinya kini sedang was-was.
"Ummik mau sibuk di dapur sama kerabat-kerabat yang lain. Ummik nggak bisa bawa adek kamu sekalian. Mau Ummik titipin ke mbak santri, tapi semuanya pada sibuk."
"Ehmm, terus?" tanya Raffa tidak peka.
Alexandra memandang jengah ke arah anaknya. Tidak bapak tidak anak, sama-sama tidak peka! Masih mending Azriel, dia tidak peka, tapi punya kemampuan khusus berupa membaca pikiran. Setidaknya tidak menambah nilai minus padanya.
"Kamu sekali-kali tolong peka, Raf ... masak nggak peka?"
Alis Raffa tertaut mencoba berpikir. Dia terus mengulangi kata-kata Ummiknya bagai kaset rusak.
Satu menit ....
Kaki Alexandra serasa sudah ingin patah hanya untuk menanti jawaban dari anaknya. Pikirnya, apa tidak berat menggendong seorang bayi berusia 7 bulan dengan tubuh gemoy ini? Punggungnya saja terasa ingin putus.
Alexandra memutar matanya malas. Memang sia-sia menunggu seorang cuek untuk peka. Sekali nggak peka, selamanya pun tak akan peka. Ingin rasanya dia memanggil Dora untuk mengatakan, 'peka ... katakan peka ....'
Sudahlah! Berhenti berhayal.
"Kelamaan, Raf ... udah ini adek kamu," ucap Alexandra dengan menaruh Elrumi di samping Raffa.
"Owh ...‚" ucap Raffa ber-oh ria karena baru mengerti dengan ucapan panjang Ummiknya.
Kalau bukan karena ada acara besar, Alexandra sudah pasti akan mengomel sepanjang hari pada anak sulungnya ini.
"Kamu--"
"Ning‚" panggil seseorang di belakang Alexandra.
Alexandra yang nerasa terpanggil pun membalikkan badannya. Ternyata itu adalah sepupunya Azriel. Alexandra tersenyum. "Dalem?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafassya & Assyifa [END]
RomansGeng yang terdiri dari pria-pria tampan mungkin cukup umum dan sering menjadi sorotan hayalak juga alur cerita. Lalu, bagaimana jika cerita ini justru menceritakan geng yang terdiri dari enam orang perempuan? Di pondok pesantren Mambaul Ihsan terdap...