50. Bisa di skip aja, nggak?

3.3K 266 32
                                    

“Kang Fattah ke sini juga? Ziarah ke makam siapa, Kang?” tanyanya ramah.

Tatapannya sungguh hangat sangat berbeda dengan tatapan yang dilayangkan Raffa kepadanya. Lelaki itu seolah siap untuk menerjangnya.

Fattah tersenyum kikuk. “Keluarga, Ning.”

“Oh, dimakamkan di sini?”

Fattah tersenyum lantas dia mengangguk.

Assyifa yang hendak melayangkan satu pertanyaan lagi terhenti kala dia merasakan ada tangan yang menggenggamnya erat. Dia menoleh ke arah Raffa.

“Ayo, kita ziarah ... keburu siang. Nanti masih mampir ke bidan buat cek kandungan kamu,” ucapnya menegur secara halus.

Assyifa tersenyum. Dia kembali menatap Fattah. “Saya duluan, ya, Kang? Mari," ucapnya.

Fattah menunduk sebagai rasa hormatnya. “Nggeh,” ucapnya lirih. Nggeh yang berarti iya.

Fattah menatap sendu pasangan muda itu. Harapannya sudah pupus. Ini pun juga salahnya. Sudah tahu Raffa menjadi saingannya, mengapa dia harus melawan? Jelas-jelas dia kalah telak dengan lelaki itu.

Dia menghela napas panjang. “Dia udah milik orang, Fat. Lupain dia,” lirihnya berucap.

Dia akhirnya melanjutkan langkah untuk meninggalkan tempat itu. Dia pulang ke rumah untuk mengemasi barang-barangnya yang ada di rumah. Memang beberapa ada yang ingin dia bawa ke Kairo.

“Assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikumsalam, loh, Bang? Kok pulang?” tanya seorang laki-laki yang lebih muda empat tahun darinya.

Fattah tersenyum hangat. “Iya, aku ada keperluan. Aku mau ke Kairo. Mau belajar di sana,” ucapnya.

Mata lelaki itu melebar. “Beneran, Bang? Wahh, alhamdulillah, selamat, ya?” ucapnya memeluk Fattah.

“Kamu juga harus bisa kayak gitu,” ucap Fattah.

Pandangan lelaki itu berubah sendu. “In syaa Allah, Bang, do'ain terus.”

Fattah tersenyum. “Pasti aku do'ain. Selama aku di Kairo kamu pasti bakal sendiri, kamu nggak papa?” tanyanya.

Lelaki itu tersenyum hangat. “Nggak. Biasanya juga aku di sini sendiri.”

“Nggak mau mondok di pondoknya Abang aja?” tanya Fattah serius.

Lagi-lagi lelaki itu tersenyum. “Di sini aku punya anak murid, Bang. Aku juga ngajar ngaji di sini. Kasihan kalo aku tinggal, pak ustadz nggak ada yang bantu.”

Fattah tersenyum hangat. Dia sangat mengerti dengan keputusan adiknya itu. “Wahh, Rama, kamu masak apa?” tanyanya.

Lelaki yang ternyata bernama Rama itu sontak terkekeh. “Ini, aku masak capcay, Abang mau?”

“Maulah!”

Mereka makan dengan duduk beralaskan tikar sederhana. “Enak kayak biasanya. Masakan Abang aja kalah, loh.”

Rama terkekeh. “Nggak usah berlebihan, Bang.”

“Tapi beneran, ini enak!” seru Fattah.

Rama tersenyum. “Terimakasih, ya, Bang? Udah anggep aku kayak adek Abang sendiri. Padahal ... kita bukan siapa-siapa,” ucapnya dengan pandangan sendu.

Fattah tersenyum hangat. “Lima belas tahun kita hidup bareng. Kenapa kamu masih sering ngomong gitu? Kita emang bukan berasal dari satu rahim yang sama, Ram ... tapi kebersamaan kita selama itu sudah buat kita terikat selayaknya adek kakak kandung,” ucap Fattah.

Rafassya & Assyifa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang