20. Noni Belanda

2.6K 253 43
                                    

“Assalamu'alaikum warrohmatullahi wabarokatuh ...!” Terdengar nyaring sebuah suara yang melengking indah. Suara yang menggema di seluruh ruangan.

“Wa'alaikumsalam warrohmatullahi wabarokatuh,” ucap laki-laki mendatangi suara itu dengan suara yang terdengar lirih di akhir ucapannya.

“Sugeng sonten, Mas!” pekik Fiya senang.

[“Selamat sore, Mas!”]

Melihat adiknya yang begitu bersemangat, Raffa hanya menanggapi dengan memutar bola matanya malas. Dia segera menghampiri kedua orang tuanya dan mengabaikan adiknya yang sudah menyebik kesal. Dia menjawab salam yang telah diucapkan mereka berdua kemudian mencium punggung tangan mereka.

Alexandra tersenyum. Dia merasa rindu dengan anaknya. Dia belai pipi juga rahang tegas itu. “Urusan pondok lancar, ‘kan?” tanyanya.

Raffa tersenyum tipis. Mungkin permasalahan dirinya dengan Assyifa tidak perlu dia bicarakan dengan orang tuanya. “Alhamdulillah ... lancar, Ummik.”

Alexandra tersenyum. “Alhamdulillah ....”

Yeah, orang tua sekaligus adiknya telah kembali ke pondok pesantren. Dia bisa sedikit beristirahat hari ini. Jujur, dia cukup lelah dengan segala urusan yang dia pikul akhir-akhir ini. Terutama tentang Fattah yang bertekad untuk meminang Assyifa.

Sementara itu, Aini dengan tas berwarna coklatnya tengah santai memasuki kelasnya. Dia dengan wajah riang duduk di tengah-tengah Farida juga Alif yang sudah terlebih dahulu duduk. Alif menoleh padanya. “Heh, lo bawa, nggak?” tanya Alif langsung.

Aini jelas paham dengan apa yang di maksud oleh Alif. Di melirik pada gadis itu, dia tersenyum dan mengangguk samar dengan jemari yang membentuk lingkaran dan menegakkan tiga jari lainnya. Singkatnya, bentuk jari yang mengartikan kata ‘ok’.

Farida tersenyum. “Sip!” ucapnya dengan mengacungkan jari jempol.

Alif pun segera menginfokan ini kepada Assyifa, Azizah juga Fitri. Assyifa yang mendengar kabar itu pun segera memanggil Aini. “Eh, Ai,” panggilnya.

Aini menoleh dengan pandangan bertanya.

“Punya gua lo bawa, nggak?”

Aini tersenyum lebar. “Pasti dong!”

Assyifa pun membalas dengan senyuman yang tak kalah cerah. Sungguh, dia sudah sangat tidak sabar ingin bermain ponsel, dan berselancar di dunia media sosial. Mana tau ada DM dari cogan, ‘kan lumayan ... hehehe.

Jarum pendek jam dinding pondok sudah menunjuk ke arah angka dua belas. Dia siang bolong itu, tidak mungkin jika ada santriwati yang masih terjaga. Kalaupun ada, itu hanya segelintir orang. Sangat jarang sekali. Dan, inilah waktu terbaik untuk keluar dari pondok.

Assyifa, Farida juga Fitri berjalan santai menuju pintu keluar pondok. Berjalan santai, agar tidak mencurigakan. Mungkin orang-orang yang melihat akan berpikir mereka bertiga itu ingin ke kamar mandi. Saat berhasil keluar dari area pondok induk tanpa seorang pun yang tahu, mereka segera bergegas menuju pondok cabang selatan. Sama seperti pondok induk, di pondok itu pula, tidak ada mbak pengurus pondok yang tengah mengawasi, membuat mereka dengan lancar masuk ke dalam pondok.

Mereka memasuki kamar. Aini menatap mereka. “Lama amat.”

Farida memutar bola matanya malas. “Lo pikir pondok induk nggak ketat apa?”

Aini cengengesan.

Pandangan Assyifa justru menyorot ke arah gadis yang lain. “Lah, lo juga ikut?” tanyanya.

Yang ditanya justru meringis. “Emangnya nggak boleh?”

“Kok bisa, Zah?” tanya Fitri dengan duduk di samping Azizah.

Rafassya & Assyifa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang