Assyifa meninggalkan ruangan itu dengan separuh daya. Kepalanya tertunduk tak mampu dia angkat. Tubuhnya serasa sudah lemas. Hukuman siraman adalah hukuman yang cukup berat. Hukuman itu sama saja mempermalukan diri sendiri di hadapan banyak orang. Termasuk keluarga ndalem.
Assyifa membuang napas panjang. Dia harus bisa melalui ini, demi sahabatnya. Dia harus bersikap selayaknya tidak terjadi apa-apa. Dia berjalan menuju dapur diikuti Fattah yang juga akan segera pergi meninggalkan pondok putri.
Fattah memegang pundak Assyifa. Hingga membuat gadis itu menoleh padanya. Menatap sayu kepada lelaki itu. Sungguh berat saat Fattah menerima tatapan itu. “Baik-baik ... semua bakal baik-baik aja. Apa yang kamu mau bakal terjadi besok.”
Assyifa tersenyum kecut. Dia merasa bersalah karena telah mengikut sertakan Fattah dalam masalahnya dengan Gusnya. “Maaf, ya, Kang? Udah ngerepotin ....”
Fattah lagi-lagi tersenyum hangat. Tangannya terangkat dan membelai kepala Assyifa lembut. “Nggak papa, saya senang bisa bantu kamu.”
Assyifa tersenyum lebar. “Terimakasih, Kang.”
Fattah mengangguk. Tangan yang semula berada di atas kepala Assyifa kini dia turunkan. “Jaga kesehatan, ya! Jumpa besok ... assalamu'alaikum ...,” ucapnya sembari berlalu pergi.
Dia menatap sekantung obat yang ada di tangannya. Sepertinya dia tidak bisa mengantarkan ini kepada Aini. Dia masih belum siap bertemu dengan sahabat-sahabatnya. Dia belum siap jika harus ditanya ini itu. Dia yakin, kabar tentang dia yang masuk ke ruang kepsek bersama Kang Fattah cepat atau lambat akan segera menjadi perbincangan hangat di pondok. Dia ingin menyendiri untuk sekarang.
Dia berbalik hendak menuju ke suatu tempat. Namun, baru selangkah dia berhenti. Di hadapannya kini sudah berdiri seorang perempuan yang begitu dia kenal. Dia Fatim.
Fatim menatap hina ke arah Assyifa. Dia tersenyum miring. “Sendirian, Neng? Hahaha ... katanya bestie ... kok sendiri? Nggak dianggep bestie, ya?” ledek Fatim.
Perasaan Assyifa kini semakin tercampur aduk kala dia mendengar Fatim secara terang-terangan menghina hubungan persahabatannya. Tangannya terkepal erat. Matanya menyorot tajam. Rahangnya mengeras. Namun, hanya dia indahkan, dia sedang malas berurusan dengan gadis satu ini. Lebih baik dia pergi sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
“Kasihan ... katanya bestie ... ternyata cuman bahan buat dimanfaatin,” sindir gadis itu sengit.
Amarah yang kian meluap tak bisa lagi dia tahan. Dia berbalik mengambil langkah lebar kemudian menarik kedua lengan Fatim dan dia silangkan di belakang punggung wanita itu.
“Arghhh ... lepasin!” bentak Fatim kepada Assyifa yang seolah telah memborgolnya.
Bukannya melepaskan, Assyifa justru mendorong tubuh kurus itu ke arah dinding dengan keras.
“Arghh .... sakit, Anjing!” umpat Fatim kesakitan.
Sementara itu, dayang-dayang Fatim hanya diam melihat. Melihat kemarahan Assyifa yang begitu meluap-luap membuat nyali mereka seketika menciut. Mereka sama sekali tidak tahu kalau Assyifa gadis bar-bar semacam dirinya bisa setangguh ini. Melihat posisi Fatim yang begitu mengerikan membuat mereka lebih memilih menjauh.
“Bego! Kenapa lo pada nggak ada yang bantuin gue?!” ucap Fatim kasar pada teman-temannya.
Bukannya menjawab mereka justru hanya diam di tempat dan menonton seolah mereka sedang dihadirkan pertandingan sengit.
Assyifa yang melihat itu justru tersenyum miring. Dia menekan kuat tubuh kecil di hadapannya hingga telinganya sendiri dapat mendengar desisan kesakitan. “Itu yang namanya bestie-bestie lo? Nyalinya ciut semua, ya? Tapi gayanya sok keras!” tanyanya sekaligus menjadi sindiran keras bagi Fatim.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafassya & Assyifa [END]
RomansaGeng yang terdiri dari pria-pria tampan mungkin cukup umum dan sering menjadi sorotan hayalak juga alur cerita. Lalu, bagaimana jika cerita ini justru menceritakan geng yang terdiri dari enam orang perempuan? Di pondok pesantren Mambaul Ihsan terdap...