16. Miscommunication

312 85 50
                                    

Pada kualifikasi emosi hati, Kecewa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan Marah.

Marah, adalah luapan emosi, yang biasanya ditandai dengan naiknya volume suara dan kasarnya kalimat ketika berucap. Cenderung mudah reda ketika sudah lega atau lelah, dan bersifat sesaat saja. Seringkali, menimbulkan penyesalan setelah melakukannya.

Sedangkan Kecewa, ialah gabungan rasa negatif yang bercampur dalam satu perasaan. Tak diluapkan—bisa sengaja atau tidak. Ditandai dengan berubahnya sikap—terkadang signifikan, terkadang juga tidak kentara, tergantung masing-masing individu yang tengah merasakannya. Cenderung sulit diredakan dan bersifat jangka panjang. Alih-alih menimbulkan penyesalan, yang ada muncul kesedihan yang begitu dekat dengan kebencian.

. . . .

Pagi ini, pukul 9, Baekhyun sudah selesai mengemasi pakaian-pakaiannya di dalam 2 koper besar. Ada 2 kotak besar juga, sebagai tempat Baekhyun meletakkan barang-barang yang ia rasa penting dan akan dibutuhkan. Ya, setelah malamnya ia mengutarakan niat kepada Ibu dan Ayah.

"Kakak." Suara Minjeong dari arah pintu kamar Baekhyun.

Yang punya kamar pun menoleh, mendapati adik pertamanya sudah siap dengan tas dan dandanan ala kuliahnya di sana. Omong-omong, rok Minjeong sudah tidak terlalu pendek.

"Ya?" Baekhyun menyahut kemudian.

Minjeong mendekat, lalu duduk di tepi kasur sang kakak. Sedangkan Baekhyun sendiri, tengah sibuk melilitkan selotip berwarna cokelat ke kotak-kotak barang miliknya.

"Kakak benar-benar ingin pindah rumah? Memangnya kenapa? Apa karena aku Kakak tidak nyaman lagi tinggal di rumah ini? Apa Kakak diam-diam marah padaku karena gara-gara aku... Kakak jadi terluka waktu itu?" tanya Minjeong baik-baik. Ada raut sendu juga pada parasnya yang cantik.

Sesungguhnya, Baekhyun jadi sedih ditanya seperti itu. Ia pun menoleh pada sang adik, berdiri dari posisi jongkok, lalu ikut duduk di tepi kasur. "Tidak. Bukan karena itu," balasnya pelan.

"Lalu, karena apa? Aku minta maaf, Kakak. Apa Kakak masih belum memaafkanku?" desak Minjeong lagi dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Baekhyun melihat manik adiknya, lalu menggeleng. "Itu tidak benar. Kakak sudah memaafkanmu dan Kakak tidak pernah marah padamu karena perbuatan Jongsoo waktu itu. Itu kan bukan salahmu, masa Kakak harus marah kepadamu?" terangnya lembut.

Kamar Baekhyun pun sedikit lengang akibat diam. Minjeong menyeka matanya yang hampir dilanda kebocoran air mata. "Tapi, Kakak. Setidaknya kau harus punya alasan mengapa kau tidak mau tinggal di rumah ini lagi," lirihnya.

Adiknya sudah mau menangis lagi, bicara lirih dengan suara yang nyaris pecah. Baekhyun pun menggeser tubuh menuju sang adik, mengikis jarak supaya lebih dekat. "Minjeong." Baekhyun mengelus sekilas lengan adik 5 tahunnya.

"Ada saat di mana kau butuh waktu sendirian." Baekhyun menghela napas. "Untuk menjernihkan pikiran... mendamaikan perasaan. Mencari sebuah jawaban atas sesuatu yang belum bisa kau terima dengan akal. Atau menyembuhkan perasaan... yang sempat banyak mendapat terjangan-terjangan. Mencoba kembali membiasakan diri pada ultimatum kenyataan." Baekhyun berbicara perlahan, mengawang jauh menatap ke satu arah.

Minjeong mengernyit otomatis. Berpikir keras, sebisa mungkin mencari korelasi. Apa yang kakaknya tengah katakan ini? Minjeong heran, kakaknya tiba-tiba jadi puitis.

"Kakak...."

Manik mereka kembali berjumpa. Minjeong menatap lekat. Namun Baekhyun yang pemalu tidak suka dengan kontak mata intens seperti sekarang. Ia memindahkan pandangan.

EVERLASTING (Fanfiction) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang