Chapter 11

56 4 0
                                    

Caka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Caka

Sewaktu gue kecil, gue gak ada bedanya sama anak-anak lain. Dimanapun gue berada, gue akan selalu mencari Ibu gue. Mau makan manggil Ibu, mau minum, mau main, mau tidur, sampai mau ke toilet juga panggil Ibu dulu.

Lalu ketika gue menjadi seorang Kakak semenjak kelahiran adik gue Riri, awalnya juga gue gak suka. Selain gue harus membagi kasih sayang orang tua gue dengan dia, gue juga merasa Riri dulu berisik karena sering nangis alias cengeng.

Sampai suatu ketika, Riri mulai menjadikan gue sandarannya. Seperti ketika dia jatuh kala bermain, ketika dia takut gelap, ketika dia kesulitan membuka bungkus cemilannya. Hal-hal sepele itu membuat gue melepas rasa iri menjadi perasaan antusias karena gue menjadi merasa dibutuhkan dan berguna untuk seseorang. Gue yang si anak kecil itu, merasa menjadi dewasa seketika kalau lagi bareng Riri.

Kadangkala kalau Riri diganggu temen-temennya, walaupun gue tau Riri yang tomboy gitu bisa menghadapi teman-temannya tanpa bantuan gue, gue dengan superiornya bakal tetap belain dia.

Dulu gue ingat, Ibu paling suka kalau gue lagi bareng Riri. Entah berantem ataupun lagi akur, entah masih piyik ataupun sudah besar, gue dan Riri kelihatan kayak bayi kecil Ibu yang lucu dan menggemaskan. Makanya kalau gue berantem sama Riri, Ibu bukannya marah malah ketawa sendirian. Ya, apalagi gue dan Riri gak pernah berantem hebat. Apa yang gue dan dia permasalahkan selalu hal-hal kecil yang bisa terselesaikan dengan mudah.

Semua masa lalu itu membuat gue merasa aneh ketika menyadari keadaan sekarang. Bagaimana gue dan Ibu kini menjadi dua orang yang merasa asing satu sama lain. Gue gak pernah mengira kalau hari seperti ini akan datang ditengah-tengah hubungan gue dan Ibu yang dulunya erat.

Liburan semester ganjil sudah dimulai. Bukannya memanfaatkannya dengan kegiatan bermanfaat, gue justru memulainya dengan berbaring di kamar sambil mengingat-ingat masa lampau. Masa dimana Riri masih ada di dekat gue dan masa dimana gue masih bisa berbagi perasaan gue sama Ibu.

Gue melirik kalender yang terletak di atas nakas. Diantara banyaknya hari di dalam sana, ada satu hari dimana tanggal itu dilingkari dengan spidol merah. Kalender yang udah empat tahun gak pernah gue ganti sekalipun tahun telah berganti itu, gue bawa ikut serta ke rumah ini sewaktu gue kembali lagi setahun yang lalu.

Gak ada alasan yang kuat selain karena kalender itu satu-satunya benda yang mengingatkan gue betapa berharganya hari-hari gue empat tahun yang lalu.

Dulu di tanggal dan bulan yang sama kayak hari ini, gue gak pernah rebahan di kamar kayak sekarang. Apalagi kalau bertepatan sama waktu luang gini. Gue selalunya akan berada di luar rumah, membeli barang-barang dan hadiah bersama Riri untuk Ibu.

Untuk hari ulang tahun Ibu.

Di bulan Desember tahun ini, usia Ibu sudah menginjak kepala lima. Sudah empat tahun terakhir juga gue gak lagi merayakan hari spesial ini. Gue masih gak punya keberanian untuk merayakan hari spesial apapun di rumah yang meski empat tahun terlewati masih serupa rumah duka yang baru ditinggal pergi.

CAKRAWALA [Yoon Jeonghan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang