Chapter 9

69 3 0
                                    

Wala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wala

"Kamu lihat gak tadi di kantin? Ada anak MIPA yang berantem. Tonjok-tonjokkan gitu. Kayaknya mereka sekelas. Sampe bonyok tahu! Katanya sih berantem soal cewek!"

"Oh iya, gue denger dari anak kelas sebelah. Gila anak MIPA gue pikir cuma bisa gelut sama rumus-rumus. Tahunya bisa gelut sama manusia juga."

"Anak IPS lebih jagolah."

Memang pembicaraan soal mana yang lebih baik antara MIPA dan IPS tidak akan pernah berakhir. Padahal menurutku tidak ada yang perlu dibanding-bandingkan mengingat masing-masing jurusan punya bidang keahliannya masing-masing. Dan kali ini pun, tidak ada sangkut pautnya tentang jurusan.

"Siapa yang berantem?" Sejujurnya aku tidak tahu apa yang membuat aku sepenasaran ini soal gosip yang menyebar. Pembicaraan teman-teman sekelasku sebelum mapel olahraga di mulai membuatku penasaran karena terakhir kali aku tahu kasus tentang pertengkaran seperti sekarang itu adalah tentang Caka.

"Gak tahu gue orangnya. Gue kenal Joshua doang. Dia kan anak OSIS."

Aku menyimpan kekesalan dalam hati. Mereka tidak tahu siapa yang bertengkar dengan pasti tetapi malah menyebarkan gosip begitu saja. Lalu salahnya aku malah penasaran pada hal yang seperti itu. Walaupun begitu, tersisip perasaan lega karena aku tidak mendengar namanya tadi. Padahal aku juga tidak tahu apa yang harus aku lakukan bila memang benar Caka yang bertengkar.

"Kamu mata pelajaran apa sekarang? Kenapa ada di sini, Caka?"

Mataku beralih tuju dengan cepat begitu telingaku mendengar namanya disebut. Setahuku, dalam satu jam pelajaran, Bu Gisela yang satu-satunya guru olahraga kelas sebelas tentunya hanya mengajar satu kelas. Jadi tentunya Caka seharusnya bukan jadwal pelajaran olahraga juga seperti kelasku.

"Seni budaya, Bu. Tapi gurunya lagi sakit. Daripada saya gabut di kelas, mending saya ikut main." Dengan santainya dia menjawab. Langkah kakinya terus mendekat menghampiri teman-teman kelasku. Bahkan di tangannya sudah ada bola basket. Ia seperti sudah bersiap untuk memainkannya.

"Kamu anak basket, kan?" tanya Bu Gisela.

Caka yang kali ini memakai celana abu-abu seragam sekolahnya namun menanggalkan kemeja putihnya hingga menyisakan kaos hitam membuatku teringat perihal baju olahraga yang belum aku kembalikan meski seminggu telah berlalu. Ia menjawab, "iya, Bu."

"Kalau gitu, kamu ambil alih putra. Saya fokus ajarin yang putri. Minggu lalu masih banyak yang belum bisa," ucap Bu Gisela.

Aku pikir, Caka akan menolak. Lagipula mana ada sih murid yang mau mengajari murid lainnya menggantikan guru. Namun untuk Caka sepertinya bisa dikecualikan karena tidak ada yang menyangka dia dengan siap sedia menerima. Lalu dengan cepat dia mengambil alih posisi Bu Gisela untuk memimpin latihan teman sekelasku yang laki-laki.

Materinya masih sama. Bahkan partner aku melakukan passing chest pass pun masih Chessy. Hanya saja kali ini aku sudah mengerti bagaimana cara melakukannya. Aku tidak akan dibodoh-bodohi lagi oleh dia dengan alasan yang sama; aku tidak jago melempar bola atau lemparanku membuatnya sakit. Toh, sebelum ini dia lebih banyak memukulku dengan bola dan itu pula ia lakukan dengan sengaja.

CAKRAWALA [Yoon Jeonghan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang