Chapter 20

48 4 0
                                    

Caka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Caka

"Tadi itu temen-temen kamu?"

Langkah gue terhenti sewaktu mendengar suara Bokap. Di tangan gue masih ada kue ulang tahun Riri yang Dami dan Jingga berikan. Padahal tadi gue sudah menolak supaya kue ini dibawa pulang tapi mereka bersikeras untuk memberikan kue ini pada gue yang sebenarnya gak akan gue makan. Jangankan kue untuk Riri, kalau kue ini untuk ulang tahun gue aja gak akan gue makan karena gak begitu suka makanan manis ini.

"Iya, kenapa?" Ya, terakhir kali, gue makan aja dianggap gue masih bisa seneng-seneng. Apalagi gue dapet kue dan punya temen-temen. Entah bisa seberapa buruk lagi Bokap melihat gue. "Gak boleh juga punya temen?"

Gue pikir Bokap lagi-lagi bakal marah tapi taunya dia cuma diem sambil membaca bukunya, seolah ucapan gue barusan hanya angin lewat. Mungkin karena beberapa hari terakhir Bokap selalu mengurusi gue, gue jadi berpikir kali ini pun dia akan melakukan itu dengan amarahnya seperti biasa.

Aneh, ya. Bahkan buat berpikir dia bakal meladeni gue dengan amarah aja gue bisa dibuat kecewa. Dasar manusia. Maunya semua hal berjalan sesuai keinginannya aja.

Gak mau terlalu memikirkan hal yang seharusnya gue syukuri itu, gue berjalan hendak meninggalkan ruang tamu. Namun baru beberapa langkah, gue mendengar Bokap kembali bicara, "jika kamu memang merasa bersalah, malam besok ikut saya."

Jika.

Padahal itu kalimat pengandaian. Gue gak harus banget buat mewujudkan itu, kan? Lagipula sebenarnya gue gak merasa bersalah sama sekali karena gak mengikuti kemauan Bokap untuk datang hari itu. Bagi gue, ulang tahun Riri lebih penting berkali-kali lipat dibandingkan acara makan-makan gak jelas sama kolega bisnisnya.

"Sepertinya kamu tidak merasa bersalah, ya." Gue pernah denger sih katanya orang tua itu biasanya selalu tau isi hati anaknya karena mereka sangat mengenali anaknya. Melalui ekspresi yang sederhana aja, mereka bisa tau perasaan apa yang anaknya rasakan. Entah sedih, cemas, marah, atau senang. Orang-orang bilang, kayak ikatan batin. Tapi gue gak nyangka aja kalau itu berlaku untuk gue dan Bokap yang udah lama memutus ikatan itu sendiri dengan hubungan yang kian memburuk.

Ya, menghilang selama kurang lebih tiga tahun, gue pikir itu cukuplah buat Bokap gak mengenali tabiat gue, sifat gue, juga ekspresi gue. Bahkan setelah tau kalau Bokap paham, gue malah makin sakit hati. Itu artinya selama ini ketika dia bisa melihat gue sedih ataupun sakit, dia malah diem aja meskipun tau.

"Kalau kamu berpikir, saya mengambil kamu lagi dari orang tua saya karena kamu satu-satunya penerus saya, itu tidak sepenuhnya salah." Ngambil. Dia pikir gue benda apa bisa diambil seenaknya. Bahkan kalaupun gue benda yang udah dia kasih ke Kakek dan Nenek, dia seharusnya gak ada hak untuk meminta lagi. Apalagi gue yang manusia begini. "Mau kamu setuju atau tidak, kamu yang akan melanjutkan perusahaan milik saya. Bukan perusahaan Mahaputra milik Kakek kamu. Melainkan anak perusahaannya, perusahan Radhitya milik saya."

CAKRAWALA [Yoon Jeonghan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang