Chapter 34

20 6 2
                                    

Caka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Caka

Gue mengajak Wala mencari jajanan sekitar. Rasanya gak etis kalau gue membawa Wala berkeliling tanpa membelikan dia makanan apapun. Gue tahu betul dari pengalaman gue jalan-jalan bersama Riri, jajan itu tetap nomor satu se-excited apapun pada pasarnya.

Setelah berkeliling cukup lama, gue dan Wala berhenti di gerobak mie ayam. Gue membiarkan Wala makan dalam diam dan gak membuka topik apapun untuk dibicarakan supaya dia fokus sama makanannya. Setelah merasa kenyang, barulah gue kembali berkeliling bersama Wala dengan es krim di tangan masing-masing sebagai makanan penutup.

"Aku bilang ke Mama mau ambil jurusan sosiologi. Terus Mama setuju dan bantu aku cari universitas yang cocok." Wala memulai percakapan lebih dulu.

Gue mengangguk-anggukkan kepala, merasa tenang pada jawaban yang ia berikan. "Syukur deh kalau lo udah nemu pilihan lo sendiri."

"Caka gimana? Aku denger kamu gak ambil beasiswanya. Semua orang heboh dan ngerasa sayang. Soalnya banyak yang mau di situ," ucap Wala dengan hati-hati. Ia seperti tidak ingin kata-katanya menyinggung gue.

Gue mengangguk sekali lagi. Ya, gue tidak bisa memungkiri bahwa banyak orang yang berminat pada beasiswa yang gue daftar. Pasti banyak yang kecewa dan merasa bahwa gue menyia-nyiakan kesempatan yang justru mereka inginkan.

"Wajar kalau banyak yang kecewa. Karena gue juga sama," jawab gue dengan jujur.

Wala menatap gue. Ia sepertinya ingin melihat ekspresi gue ketika bicara untuk tahu harus merespon seperti apa. Ya, begitulah Wala. Sepeduli itu pada respon orang lain.

"Gue udah gak ada tenaga buat marah ataupun sedih. Gue udah ada dititik dimana gue sadar kalau sebesar apapun usaha gue buat pertahanin yang gue mau, semua cuma bakal berujung sia-sia."

Walaupun hanya diam, gue tahu Wala menyimak gue. Dia memakan eskrimnya pelan-pelan seolah ikut merasa sedih. Gerakan tangannya yang melambat seperti ikut merasakan perasaan bimbang gue.

Ia lalu menatap gue dalam-dalam dan berkata, "kamu hebat, Caka."

"Hebat gimana?" Kening gue mengerut, bingung dengan responnya.

"Ya, dibandingkan menyerah kamu lebih memilih berjuang lebih dulu. Berusaha sekeras yang kamu bisa untuk membuktikan kalau kamu mampu. Padahal kamu pasti tahu kalau pada akhirnya, semua bukan tergantung kamu. Bukan tergantung seberapa keras kami berusaha karena semuanya udah ditentukan."

"Kamu padahal bisa milih untuk menyerah. Bagi orang lain menyerah pasti lebih mudah. Apalagi kalau sudah tahu kalau kerja keras yang dilakukan akan berujung sia-sia. Berusaha sampai berhasil itu bukan hal yang mudah, kan?"

"Tapi bagi kamu, menyerah justru lebih sulit dibandingkan berusaha. Menyerah dan diam aja membiarkan orang lain menentukan hidup kamu dan memaksa kamu berbuat sesuai apa yang ia mau, bagi kamu justru itu lebih sulit. Bagi kamu, pembuktian itu nomor satu. Bukti bahwa kamu mampu, bisa, dan gak sekedar pasrah pada arus yang membawa kamu ke arah yang belum pasti."

CAKRAWALA [Yoon Jeonghan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang