Chapter 18

42 7 0
                                    

Wala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wala

Aku melihat Mama dari kejauhan. Sosoknya yang terlihat kurus terbalut seragam kerjanya yang rapih. Bahkan sepatu yang ia pakai saat kerja tadi belum sempat ia ganti tetapi kini ia malah sibuk membeli bunga.

Semakin lama, hubungan aku dan Mama semakin membaik. Kalau biasanya sejak bangun tidur di pagi hari sampai hendak tidur lagi di malam hari kami hampir tak bicara kecuali untuk hal-hal penting, kini aku dan Mama sering mengobrol bersama seperti saat sarapan atau makan malam. 

Meski kami masih canggung, tetapi jelas ini kemajuan yang besar untuk orang yang jarang saling bicara seperti aku dan Mama. Aku juga banyak dikejutkan oleh sikap Mama yang berbeda dari biasanya. Mama lebih sering berbicara lebih dulu, menanyakan kegiatanku, lalu membicarakan kesibukannya, sampai hari ini ketika Mama tiba-tiba berbicara hal yang mengejutkan. 

"Kamu mau ke makam Papa?"

Aku sangat terkejut mendengarnya. Selain Mama adalah orang yang sibuk, ia juga jarang membicarakan Papa. Entah karena hatinya masih dilanda kesedihan kalau membicarakan Papa atau memang tidak ingin lagi mengingat kenangan masa lalu.

"Mama beli bunga apa?" tanyaku. Karena kupikir Mama akan membeli buket bunga yang cantik nan harum.

"Ah, ini ...." Mama menunjukkan plastik di tangannya dengan ragu. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal pertanda ia sedang gugup. "Apa Mama beli lagi aja?"

Aku menggeleng pelan. Tujuan kita ke makam Papa memang untuk berziarah. Jadi tidak ada salahnya kalau Mama membeli air mawar dan bunga tabur. "Gak papah, Mah. Gak usah."

Mama menurut sambil menutup pintu mobil supaya taksi yang kami tumpangi segera berangkat  meski ekspresi wajahnya terlihat sedih dan menyesal seolah-olah telah melakukan kesalahan besar.

"Harusnya Mama beli buket bunga yang cantik," ujar Mama sambil menatap plastik di tangannya.

Aku menghela napas lalu tersenyum. Kali ini, aku tidak boleh diam saja. Aku harus bisa menyemangati Mama. Oleh karena itu, aku mengamit lengan Mama dan bersandar di sana. "Mama udah usaha. Toh, Papa bukan orang yang pilih-pilih, kan? Apapun yang Mama kasih, Papa pasti suka."

Dengan sedikit mendongak, aku melihat Mama tersenyum. Rasanya seperti berhasil membuat pencapaian besar bisa membuat Mama tersenyum seperti itu karena sebelumnya tak pernah bisa aku lakukan.

Sambil mengelus kepalaku dengan lembut, Mama bilang, "kamu memang anak yang baik, Wala."

Ternyata seperti ini rasanya dekat dengan ibu. Nyaman dan hangat. Aku merasa seperti petualang yang telah lama bepergian menghadapi segala macam rintangan lalu akhirnya kembali pulang ke rumahku. Rumahku yang kuat dan hebat; Mama. 

Sesampainya di makam Papa, Mama dan aku membersihkan makamnya lebih dulu dari tanaman liar. Lalu menaburinya dengan bunga dan menyiraminya dengan air mawar. Mama melakukannya dengan hati-hati. Setiap sentuhannya yang lembut, Mama seolah-olah seperti sedang bercengkerama dengan Papa di dalam hatinya. 

CAKRAWALA [Yoon Jeonghan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang