Chapter 19

36 5 0
                                    

Caka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Caka

Gue benar-benar melakukan apa yang gue katakan. Di hari yang semakin larut ini, gue membawa dia keliling kota Jakarta. Benar-benar jalan-jalan tanpa tujuan, tanpa singgah bahkan untuk sekedar makan. Dengan sengaja gue melajukan motor dengan pelan, pertanda kalau memang gue berniat mengobrol sambil berkendara.

Kalau dingat-ingat lagi, pertemuan gue dan Wala lebih banyak dihabiskan untuk jalan-jalan dan makan, ya? Kalaupun di sekolah, itupun cuma dibelakang sekolah. Entah udah berapa kali Wala menaiki motor gue ini yang sebenarnya jarang diisi oleh dua orang. Ya, dia jadi orang kedua setelah Jingga yang selalu ngisi bagian belakang motor gue.

Gue punya kebiasaan yang entah disebut aneh atau justru hal yang biasa. Gue selalu suka ketika gue melajukan motor pelan, merasakan angin yang berhembus menerpa wajah gue seiring laju motor sambil melihat pemandangan jalan raya di malam hari. Terutama kalau ada orang yang menemani gue untuk berbicara untuk menghilangkan rasa kesendirian gue.

Biasanya gue selalu sendirian. Tetapi beberapa hari kebelakang, orang yang gue ajak melakukan kebiasaan ini adalah Jingga. Dia satu-satunya orang yang bisa gue ajak bicara untuk segala hal bahkan menyangkut hal sensitif. Tapi karena hari ini gue pergi lebih dulu meninggalkan dia untuk mengunjungi Riri, gue gak bisa memintanya tiba-tiba di malam hari begini untuk menemani gue.

Ya, terlebih hari ini perasaan gue memang kacau. Diantara Dami dan Jingga, gak ada satupun dari kedua temen gue itu yang gue kasih kabar.

"Kenapa sama wajah kamu? Habis berantem lagi?" Wala memulai pembicaraan lebih dulu. Melalui ucapannya yang seperti itu, gue paham kalau hampir semua orang yang kenal gue di sekolah tau kalau gue suka jadi biang keladi pertengkaran. Meski gue bukan anak badung semacam itu, tapi gue selalu punya alasan untuk membuat gara-gara sama orang lain.

Dengan sifat gue yang sensitif begini, buat bertemen sama banyak orang memang susah. Yang anehnya, gue tetap punya temen banyak. Dan temen berantem gue, seringnya temen gue sendiri. Untuk soal ini bisa gue kecualikan Dami dan Rakin. Karena mereka selalu paham apa aja topik yang gak boleh mereka bahas sama gue. 

Orang-orang bilang gue humble, gue ramah, gue juga mudah bergaul. Terlebih gue bisa semua yang temen-temen gue suka semacam olahraga, main game, atau cuma nongkrong bareng. Mereka bilang gue seru karena gue selalu nyambung sama topik mereka. Tapi saat mereka berusaha menyamakan topik mengenai gue, gue selalu gak suka. Makanya gitu deh.

"Sesering itu lo denger gue berantem sampe ada kata 'lagi'?" tanya gue.

Padahal cuma nanya tapi Wala selalu aja panik tiap nada gue kayak gini. "Maaf," ucapnya dengan cepat. 

Gue memberikan gelengan kepala. Meskipun gue sadar kalau meminta maaf adalah kebiasaan Wala, tapi ada saatnya gue khawatir kalau dia selalu beranggapan dirinya salah padahal benar sampai akhirnya terima apapun perlakuan yang orang lain kasih meskipun gak layak. Dan semua itu dia terima cuma karena dia merasa pantas sebagai orang yang bersalah. Contohnya kasusnya sama temen-temennya.

CAKRAWALA [Yoon Jeonghan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang