Chapter 32

29 8 0
                                        

Wala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wala

Suasana kelas akhir-akhir ini terasa ramai. Semua penghuninya melakukan urusannya masing-masing. Ada yang fokus pada kertas berisi materi ujian praktek, ada yang sibuk mengobrol dan bercanda, ada yang tidur, bahkan ada yang sibuk bolak-balik antara kantin dan kelas sambil membawa makanan. Sebebas itu masa akhir SMA yang aku jalani ini.

"La, kamu nyumbang berapa buku ke perpustakaan?" tanya Aliza padaku sambil merapihkan kertas materi praktek di tangannya.

Aku berpikir sebentar lalu menjawab, "dua sih kayaknya. Mau lebih pun aku bingung kasih buku apa. Itu pun aku beli baru semua. Di rumah gak ada buku yang bisa aku sumbangin, cuma ada novel-novel romance."

"Sama aku juga. Kayak maunya tuh harus yang benar-benar jelas mengedukasi, padahal gak ada yang nyuruh gitu. Toh di perpustakaan juga ada kok buku-buku novel romance." Aliza menjawab.

"La, Liz, sini makan di luar. Jangan di dalem terus!" panggil Witha sambil membawa tumpukan makanan di tangannya. Ada siomay, batagor, bahkan cimol yang dibungkus plastik. Tak lupa sekantong plastik hitam yang aku yakini berisi minuman dingin terlihat dari tetesan air yang menetes di bawahnya.

Aku dan Aliza melempar senyum lalu menghampiri Witha. Dengan segera membantunya membawa makanan itu agar Witha tidak kesulitan lagi. Kemudian mencari posisi duduk yang pas untuk makan sambil menghadap ke arah lapangan.

Di luar kelas justru lebih ramai lagi. Beberapa siswa terlihat bermain bola. Bahkan aku bisa melihat Caka di tengah lapangan yang sedang mendribble bola basket dengan keringat yang bercucuran. Seragam sekolahnya sudah hilang entah kemana menyisakan kaos putih lengan pendek yang terlihat basah.

Aku hanya diam sambil menatapnya dari kejauhan dengan batagor di tanganku. Tak berniat sama sekali untuk memanggilnya. Aku membiarkan keramaian itu menjadi topik pembicaraan yang memecah keheningan. Juga Witha dan Aliza yang saat ini sedang berbincang tentang buku yang akan mereka sumbangkan ke perpustakaan.

Sudah seperti sebuah tradisi untuk sekolah kami bahwa setiap murid kelas dua belas yang akan meninggalkan sekolah wajib menyumbangkan buku ke perpustakaan. Minimal satu tetapi banyak yang memberikan lebih daripada itu. Tidak ada karakteristik yang diberikan untuk bukunya seperti apa. Tidak harus baru yang penting masih bagus dan bisa dibaca. Tidak ada genre tertentu tetapi lebih baik yang mengedukasi sekalipun bukunya adalah sebuah novel fiksi.

Aku belum mempersiapkan satupun. Niatnya aku ingin membelinya nanti di toko buku. Aku ingin membeli buku non-fiksi tentang nasihat untuk remaja seusiaku dimana sedang ada pada masa penuh kekhawatiran.

"Wala!" panggil seseorang menghentikan lamunanku. Mataku mencari-cari seseorang yang memanggilku diantara keramaian di lapangan sana. Namun mataku hanya terpaku pada Caka. Padahal menurutku tak mungkin dia yang memanggilku dengan sekeras itu di tengah lapangan.

"Itu ... ada yang manggil kamu, La," ujar Witha sambil mengunyah siomay di mulutnya.

Aliza yang melihat aku kebingungan menunjuk ke arah lapangan, tepat dimana Caka berada. Aku hanya tersenyum lalu menggeleng.

CAKRAWALA [Yoon Jeonghan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang