~ Prastowo Tidak di Restui ~

25 5 1
                                    

Aku tidak menyangka akan secepat itu di pertemukan dengan orang tua Prastowo, sehingga secara mental aku belum siap untuk ketemu. Satu hari setelah Prastowo bilang ingin perkenalkan aku pada kedua orangnya, Prastowo langsung membawa aku menghadap kedua orang tuanya. 

Perasaan aku saat itu sangat bercampur aduk, tapi karena Prastowo meyakinkan aku, maka aku menjadi percaya diri untuk bertemu kedua orang tua Prastowo. Sampai di rumah orang tua Prastowo, aku takjub dengan sosok rumah yang begitu megah. Rumah yang sangat mewah itu, menjadikan aku bukanlah siapa-siapa. 

Memasuki halaman rumah itu, mulai dari pintu gerbang, sampai menuju ke rumah, kurang lebih 300 meter, dari situ aku sudah bisa membayangkan seperti apa kehidupan pemilik rumahnya. Prastowo meminta aku untuk bersikap apa adanya, 

"Nanti, begitu ketemu dengan Papa dan Mama aku, kamu bersikap apa adanya aja Dis, biar mereka yang menilai kamu." Ujar Prastowo 

Mendengar apa yang dikatakan Prastowo, aku benar-benar deg-degan, aku menjadi serba salah, 

"Aku gak yakin orang tua kamu bisa terima aku mas, karena jauh sekali perbandingannya antara kamu dengan aku." Aku mulai pesimis 

Kami sudah sampai di depan pintu masuk rumah Prastowo, pintu depan rumah orang tua Prastowo memang sudah terbuka. Prastowo mengajak aku masuk, di dalam aku kembali takjub dengan interior rumah tersebut, semua tone warna emas mendominasi furniture dan Pilar yang ada di dalam. 

Prastowo menarik tanganku, mengajak aku menghampiri kedua orang tuanya, yang sudah menunggu di ruang tamu, 

"Siang Pa.., Ma, ini Gadis calon isteri Pras," Prastowo memperkenalkan Gadis pada Papa dan Mamanya 

"Wah ... cantik sekali calon isteri kamu Pras... " Hati aku sedikit lega mendengar ucapan Mamanya 

"Siapa nama kamu cah ayu?" Papa Prastowo tanya nama aku 

"Saya biasa di panggil Gadis Om," jawabku 

Aku dipersilahkan duduk sama orang tua Prastowo, dan Prastowo duduk di sebelah aku. Dalam pembicaraan awal, aku sangat terkesan, karena orang tua Prastowo sambutannya cukup hangat, sehingga aku makin percaya diri. 

"Gadis ini pasangan mainnya Prastowo ya?" Tanya Mama Prastowo, "Tante mengikuti sinetron kalian itu, makanya begitu lihat kamu Tante jadi ingat." Ucap Mama Prastowo 

"Jadi calon isteri kamu artis dong Pras? Sama seperti kamu, pengacara yang jadi artis ya?" Papa Prastowo bercandain Prastowo 

Semua awalnya sangatlah hangat, aku semakin yakin dengan apa yang dikatakan Prastowo, bahwa orang tuanya sangat demokratis. Namun suasana yang sudah begitu cair itu berubah seketika, ketika orang tua Prastowo menanyakan asal-usul keluarga aku. Mereka kaget ketika aku bilang, orang tuaku di kampung, orang biasa-biasa saja. 

Mereka seakan-akan tidak percaya dengan apa yang aku katakan, karena mereka melihat penampilan aku bukanlah seperti orang kampung, 

"Orang tua kamu masih lengkap? Apa usahanya di kampung Dis?" Mama Prastowo menanyakan orang tuaku 

"Ibu saya kuli tani tante, sejak di tinggal ayah saya pergi ke Jakarta, dan gak pernah kembali." Aku jawab apa adanya saja 

"Terus kamu yang jadi tulang punggung keluarga? Sampai saat ini kamu gak tahu dimana ayah kamu?" Tanya Papa Prastowo 

"Iya om, saya harus bekerja untuk bantu ibu dan adik-adik saya om, ke Jakarta pun awalnya mau cari ayah saya." 

Mungkin orang tua Prastowo menganggap, secara bebet, bibit, dan bobot, aku tidak masuk kriteria dalam pilihan mereka, sehingga latar belakang keluarga aku, secara strata sosial, berbeda jauh dengan mereka. 

"Prastowo ini anak lelaki satu-satunya, adiknya perempuan masih kuliah, sebetulnya dia sudah kami jodohkan dengan anak dari kerabat terdekat, cuma Prastowo bilang sudah punya calon." Ujar Mama Prastowo 

Aku bingung mau jawab apa, akhirnya aku cuma bilang, "Iya tante, saya yakin semua orang tua ingin jodoh yang terbaik bagi anaknya." 

Prastowo lama terdiam, dia hanya bicara untuk menjelaskan pada orang tuanya, "Sebetulnya, dimata Tuhan semua manusia itu sama derajatnya, ukurannya cuma ketakwaannya." Ujar Prastowo 

Papa Prastowo menimpali ucapan Prastowo, "Tapi dalam tradisi kita, soal asal-usul keluarga itu juga sangat penting Pras, terutama menyangkut bebet, bibit, dan bobot." 

"Sekadar memperkenalkan Papa dan Mama sih gak masalah, kami senang menerima kedatangan Gadis." Ucap Mamanya 

Prastowo benar-benar tidak berdaya dihadapan orang tuanya, apa yang dikatakannya, sangat bertolak belakang dengan sikap orang tuanya. Orang tua Prastowo tidaklah demokratis, sangat peduli dengan siapa yang akan menjadi calon menantunya, seperti apa latar belakang keluarganya. 

Sementara aku bukanlah siapa-siapa, hanya orang kampung yang tidak sekelas dengan mereka. Aku sangat maklum, dan aku cuma bisa kasihan sama Prastowo, karena untuk menentukan siapa calon isterinya, dia tidak berdaya. 

Merasa tidak punya harapan untuk mendapatkan restu orang tuanya, Prastowo mengajak aku untuk pamit. Kami pamit pada kedua orang tua Prastowo, setelah itu langsung keluar dari rumah itu, 

"Ini terakhir aku menginjak rumah ini Dis, aku tidak akan menginjak rumah ini lagi, orang tuaku sangat tidak menghargai hak aku." Ujar Prastowo 

Kami menuju ke mobil, Prastowo membukakan pintu buat aku seperti biasanya, setelah itu baru dia menuju ke bagian kemudi. Aku melihat ekspresi wajah Prastowo yang sangat dongkol, 

"Mas, kamu jangan bicara seperti itu, tidak ada Ridho Tuhan, tanpa Ridho kedua orang tua mas." Aku ingatkan Prastowo 

"Dalam banyak hal, Papa dan Mama itu sangat demokratis Dis, selalu bijaksana, kok tiba-tiba berubah begitu." 

"Sabar aja mas, kita tunda dulu menikahnya, sampai orang tua kamu merestui." Aku mencoba menenangkan dia 

Prastowo tidak bisa menerima ucapanku, "Sampai kapan Dis sabarnya? Kalau tetap tidak di restui gimana?" 

"Sabar itu batasnya sampai ketentuan Tuhan datang mas, itu yang aku pernah dengar dari para ustad, kalau tetap tidak di resrui kita tunggu saja sampai di restui." 

Prastowo bilang sama aku dia mau nekad untuk tetap menikah, tapi aku keberatan jika tanpa di reasrui orang tuanya. Dia mengajakku untuk menikah secara siri, namun aku tetap bertahan, dan mengajaknya untuk tetap bersabar. 

Dia mengajakku untuk tinggal serumah, di rumahnya yang baru, tapi aku ingin kami tetap tinggal di tempat masing-masing. Meskipun aku sangat mencintai Prastowo, tapi aku ingin sebuah pernikahan yang diberkahi Tuhan, bukanlah sekadar menikah. 

Prastowo tidak menyangka kalau kedua orang tuanya tidak bisa menerima aku, karena dalam pandangannya aku sangat memenuhi kriteria kedua orang tuanya. Hanya saja dia tidak tahu kalau orang tuanya masih memikirkan soal bebet, bibit, dan bobot.

 
Bersambung..

Gadis Bukan Perawan [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang