~ Menghadiri Pernikahan Prastowo ~

33 4 1
                                    

Sampaikan pada hari 'H' pernikahan Prastowo, aku dan ibu menghadirinya. Dari rumah aku sudah mempersiapkan diri untuk ikut bahagia di hari pernikahan orang yang sangat aku cintai.

Sebelum jalan ibu kembali mengingatkan aku, "Kamu benar-benar sudah siap Dis? Menghadiri Pernikahan Prastowo?" Tanya ibu

Aku senyum memandang ke arah ibu, "Aku siap lahir batin bu, aku ingin melihat orang yang aku cintai bahagia bu." Jawabku

"Bagus, kalau gitu ayo kita jalan, ibu hanya kuatir kamu tidak siap Dis." Kata ibu

Aku dan ibu naik taksi online ke pernikahan Prastowo. Pernikahannya di selenggarakan di sebuah Hotel yang sangat bergengsi. Aku mengarahkan pesanan taksi online ke Hotel tersebut.

Sampai di Hotel itu, aku sudah merasakan suasana kemewahan dari pernikahan Prastowo, dan sangat kental dengan adat dan tradisi keraton. Aku yakin kalau calon isteri Prastowo bukanlah dari kalangan orang sembarangan.

Sesampainya kami di depan Ball Room tempat pernikahan di selenggarakan, suasana tradisi Jawa itu semakin kental terasa, mulai dari musik yang mengiringi acara, sampai dekorasi pernikahannya, semua sangat bernuansa keraton.

Setelah mengisi buku tamu, aku dan ibu masuk ke Ball room, aku kembali terpesona dengan dekorasi ruangannya, aku serasa berada dalam sebuah keraton, di mana setiap orang berpakaian tradisi Jawa. Aku semakin sadar, kalau aku memang tidak pantas berdampingan dengan Prastowo.

Aku takjub dengan semua yang aku saksikan, saat itu kedua mempelai belum di giring ke dalam ruangan, semua orang menantikan kedatangan kedua mempelai. Aku pun juga begitu, aku ingin melihat Prastowo dengan mengenakan pakaian pengantin tradisi keraton Jawa.

Ibu membisikkan sesuatu ke telingaku, "Kamu memang tidak pantas berada dilingkungan keluarga Prastowo Dis, kamu lihat saja sekeliling kamu." Bisik ibu

"Iya bu, aku bersyukur tidak jadi menikah dengan Prastowo." Bisikku di telinga ibu

Aku dan ibu seperti asing di keramaian, bahkan tidak satu orang pun yang kami kenal, karena mungkin yang hadir kerabat keraton mayoritasnya, sehingga kami merasa tidak pada tempatnya.

Selang beberapa saat, pembawa acara memberitahukan, kalau sebentar lagi kedua mempelai akan memasuki ruangan. Aku dan ibu berusaha untuk berdiri dekat dengan arah jalannya kedua mempelai.

Dari kejauhan aku melihat kedua mempelai sudah mulai bergerak masuk ke dalam ruangan acara, aku melihat Prastowo begitu gagah dalam balutan busana tradisi keraton. Aku berusaha untuk tetap bahagia melihat semua itu.

Acara penyambutan kedua mempelai begitu bertele-tele, karena memang sesuai dengan tradisi, bagi aku, semua itu sangat menjemukan. Sebagian yang lain sangat menikmati suasana itu.

Sampailah saatnya aku dan ibu harus memberikan ucapan selamat pada kedua mempelai, kami mengikuti antrian yang begitu panjang. Sampailah pada gilirannya kesempatan aku dan ibu memberikan ucapan selamat pada Prastowo dan isterinya,

Prastowo lama menatap mataku, aku melihat ada airmata di matanya, "Selamat ya mas, semoga Sakinah, Mawaddah, dan Warahmah." Aku ucapkan itu pada Prastowo. Begitu pun dengan ibu.

Aku menyalami kedua orang tua Prastowo, pandangan mereka begitu dingin terhadapku, aku tidak peduli. Aku datang sebagai undangan Prastowo, mungkin mereka pikir aku tidak layak berada di lingkungan mereka.

Aku dan ibu tidak lagi mencicipi hidangan yang tersedia, kami langsung pulang, aku tidak kuat berada dalam lingkungan yang membuat aku dan ibu terasing.

Sampai di rumah, aku tidak kuat lagi ingin menumpahkan perasaanku, aku hempaskan tubuhku di tempat tidur ibu, dan aku menangis sejadi-jadinya. Aku benar-benar merasa tercampakkan begitu saja, meskipun hatiku sangat ikhlas.

Beberapa hari kemudian, aku bertemu dengan Prastowo di lokasi shooting, dia menceritakan tentang suasana pernikahannya,

"Dis, kamu jangan mengira aku bahagia ya, karena sesungguhnya aku sangat menderita." Ucapnya, dia mengucapkan itu, pandangannya jauh kedepan

"Aku gak tahu mas kamu bahagia atau tidak, karena yang menghadapi suasana pernikahan kamu, ya kamu dengan isteri kamu."

Aku kaget saat dia cerita tentang malam pertamanya, "Aku sama sekali belum menikmati malam pertama kami Dis." Ujar Prastowo dengan ekspresi kecewa

"Kenapa mas!!? Kan seharusnya kamu sudah menikmati itu? Ini sudah masuk hari ketiga dari pernikahan kamu?" Tanyaku

Prastowo tidak menjawab pertanyaan aku, dia terus memandang ke depan, seakan-akan akan dia merisaukan sesuatu.

"Inilah yang aku takutkan dari sebuah pernikahan yang tidak aku kehendaki Dis." Ujar Prastowo

"Apa masalahnya mas? Maaf kalau aku lancang ingin tahu masalah kamu mas."

"Isteriku bukanlah wanita yang normal Dis, orang tuaku belum tahu hal ini."

Aku tidak ingin mengetahui lebih jauh apa yang sedang di hadapi Prastowo, yang aku tangkap dari ucapannya, bahwa isteri nya tidak bisa melayani dia. Aku tidak ingin menyelidiki lebih jauh lagi.

"Kamu harus kuat mas, menghadapi problema rumah tangga kamu, pernikahan kamu baru seumur jagung." Aku ingatkan Prastowo

"Ini masalahnya tidak sederhana Dis, ini berat sekali, kalau aku ceritakan sama orang tuaku, bisa pecah itu keluarga." Ujar Prastowo

"Terus, kalau gak kamu ceritakan, kamu mau tanggung akibat yang akan kamu terima?" Aku ingin jawaban yang tegas dari Prastowo

Prastowo cerita, kalau dia dan isteri nya tidak tinggal di rumah yang disiapkannya untuk aku, tapi dia tinggal di rumah isterinya. Isterinya ikut membawa sepupu perempuannya tinggal serumah dengan Prastowo.

Yang hebatnya lagi, isterinya tidak tidur bareng sama Prastowo, tapi tidur dengan sepupunya di kamar yang lain.

Aku bisa membayangkan seperti apa penderitaan Prastowo, " Mas ... aku tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga kamu lebih jauh, aku siap jadi pendengar yang baik."

Aku cuma bisa bilang itu pada Prastowo, aku tidak ingin kalau sampai dia ribut dengan isterinya, aku malah dianggap keluarganya sebagai pelakor.

Aku bilang sama Prastowo, "Mas, kalau kamu masih mau ngobrol sama aku, sebaiknya jangan cerita soal rumah tangga kamu."

"Kalau gak sama kamu, aku harus cerita sama siapa Dis? Cuma kamu orang yang aku percaya untuk mendengar semua ini Dis!!"

"Oh Tuhan ... kenapa aku dihadapkan pada persoalan orang lain yang tidak bisa aku campuri?" Tanyaku dalam hati

Berat sekali persoalan yang sedang di hadapi Prastowo, aku orang luar yang tidak mengalami langsung masalahnya saja merasa sangat berat, apa lagi Prastowo, lelaki yang hatinya sangat baik, sehingga tidak ingin menyakiti isteri yang tidak sama sekali dia cintai.

Aku tidak bisa membayangkan, betapa menderitanya Prastowo, isteri yang sangat berhak dia gauli, tidak ingin di gauli oleh Prastowo, dia lebih memilih asyik dengan pasangan sejenisnya, di dalam rumah yang sama dengan suaminya.

Aku tidak tahu seperti apa Prastowo menyelesaikan urusan rumah tangganya yang baru seumur jagung. Betapa menderitanya Prastowo menahan hasrat yang tak tersalurkan, padahal wanita yang dinikahinya, halal dia gauli, tapi dia tidak bisa menggaulinya.

Bersambung

Gadis Bukan Perawan [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang