~ Kehilangan untuk Kedua Kalinya ~

26 4 0
                                    

Dari hari ke hari sikap Prastowo di lokasi shooting tidak berubah, tapi memang kami hanya ketemu di lokasi shooting, tidak pernah lagi ketemu tempat kost ku, atau pun di apartemennya.

Secara mental aku sudah mempersiapkan diri untuk kehilangan Prastowo. Kalau sebelumnya aku takut kehilangannya, sekarang rasa takut itu sudah bilang dengan sendirinya, sejak aku tahu kalau aku tidak sederajat dengannya.

Aku tidak ingin memgutuk keadaan, atau pun mengatakan Tuhan bersikap tidak adil kepadaku. Aku tahu Tuhan Maha Adil, dan rencananya selalu baik, yang tidak adil itu manusia.

Suatu pagi Prastowo mengajak aku bicara,
"Dis, apakah aku sudah menyakiti kamu? Kalau kamu merasakan itu, aku minta maaf ya.." Ucapnya

"Mas, sedikit pun aku tidak merasakan itu, karena aku terlalu cepat mencintai kamu, padahal itulah yang aku takutkan selama ini."

"Kamu tidak salah Dis, aku juga sangat mencintai kamu, dan aku mabuk dengan cinta kita, sayangnya kita belum berjodoh."

Aku bilang sama Prastowo, tidak perlu menyesali pertemuan, karena sesungguhnya kita memang di pertemukan, hanya saja kita belum di jodohkan. Aku memang mendorong Prastowo untuk menerima keadaan, kalau aku sama bisa masak sih dia tidak bisa.

Prastowo bilang, "Kalau perempuan mungkin bisa menerima keadaan apa pun Dis, tapi aku sebagai laki-laki seperti kehilangan nyali, itulah yang aku sesali."

Prastowo adalah laki-laki yang paling baik setelah Rasta, Rasta dan Prastowo itu lelaki yang ajaib, yang mau mencintai aku wanita jalang, yang mempunyai masa lalu yang sangat kelam. Aku ngeri kalau mengingat hidupku di masa lalu, aku sangat tidak mengenal Tuhan, hidupku hanya dibayangi dendam kepada setiap lelaki.

Kepada Rasta dan Prastowo, aku sudah ceritakan hal yang terburuk dalam diriku, tapi keduanya tetap tulus mencintaiku. Sayangnya hubungan aku dengan dua laki-laki baik ini harus kandas di tengah jalan.

Aku kehilangan Rasta karena di tinggalnya pergi untuk selamanya, sementara aku di tinggal Prastowo, karena dia harus patuh pada keinginan orang tuanya. Apa yang selalu aku takutkan, selalu terjadi akhirnya. Hanya tinggal menunggu waktu, Prastowo akan meninggalkanku.

Aku menitikkan airmata di hadapan Prastowo, melihat itu dia langsung memelukku,

"Dis, kalau kamu terluka, kamu boleh melukai aku Dis, aku rela asal kamu tidak tersakiti." Ujarnya

"Bagaimana aku bisa melukai orang yang sangat aku cintai mas? Aku mencintai kamu tanpa pamrih mas, aku hanya sedih dengan nasibku."

Aku menghapus airmataku, karena crew dan pemain sudah mulai berdatangan di lokasi shooting, Prastowo pun melepaskan pelukannya. Kami tidak ingin orang punya anggapan negatif terhadap kami berdua.

Aku merasa kalau aku sedang menjalani sebuah proses dalam kehidupanku, dan aku menikmatinya tanpa mengutuk keadaan. Aku berusaha untuk menyalakan lilin dalam kehidupanku, agar aku bisa keluar dari kegelapan.

Aku masih bersyukur ada dalam keluarga yang sederhana, tapi aku memiliki kemerdekaan hidup. Aku justeru kasihan sama Prastowo, seorang lelaki yang baik, dan mandiri, tapi dia tidak bisa menentukan jodohnya sendiri.

Suatu hari saat aku break shooting, aku di panggil bapakku ke restorannya, orang yang pernah mengaku bernama Hendro Kusumo. Bapak menanyakan sama aku,

"Gadis, apakah Prastowo calon suami kamu? Apakah kalian sudah siap untuk menikah?" Tanya Bapak

"Tadinya iya pak, tapi sekarang sudah tidak lagi pak.." Jawabku dengan sangat sedih

"Kenapa nak? Kenapa kamu begitu bersedih?" Tanya bapak sambil memeluk aku, bapak pun tidak bisa menahan keharuannya

"Keluarga Prastowo itu dari kalangan ningrat pak, ingin anaknya menikah dengan kalangan sesamanya." Jawabku

Bapak lama berpikir, dan tidak langsung meneruskan ucapannya, bapak memelukku semakin erat,

"Dis, memang lebih baik kamu tidak menikah dengannya, karena kamu akan menderita di lingkungan seperti itu."

"Iya pak, Gadis juga mikirnya gitu, Gadis ikhlas tidak menikah sama Prastowo, tapi mas Prastowo sangat sedih, karena dia tidak tertarik dengan calon isterinya."

Tadinya bapak berpikir, kalau aku memang ingin menikah dengan Prastowo, bapak ingin membuat pesta besar untuk aku, bapak ingin menebus kesalahannya terhadap aku.

"Kamu yang sabar ya nduk, gusti Allah mboten sare, semua akan terjawab nantinya."

"Iya pak, aku sudah siap secara mental menerima keadaan ini."

Satu minggu setelah itu, Prastowo memberikan aku Undangan pernikahannya,
"Dis, aku sangat mengharapkan kedatangan kamu, kamu datang ya?" Pinta Prastowo sambil memberikan undangan.

"Aku pasti datang mas, aku ingin menyaksikan orang yang aku cintai berbahagia."

"Terima kasih Dis, aku sangat menghargai kebesaran jiwa kamu, aku akan tetap menjaga cinta kita Dis."

Aku bilang sama Prastowo, sebaiknya menjelang pernikahannya, dia harus lupakan aku, supaya nanti saat ijab Kabul, dia bisa konsentrasi penuh. Aku bilang sama dia bahwa ijab Kabul itu adalah sesuatu yang sakral,

"Kamu harus bisa lupakan cinta kita mas, karena kamu harus fokus pada ijab Kabul kamu sama isteri."

"Hati aku masih sama kamu Dis, bagaimana mungkin aku bisa melupakan kamu?"

"Mas, ijab Kabul itu perjanjian kamu sama Tuhan, bukan cuma sama calon isteri kamu!!" Aku tekankan itu pada Prastowo

Saat aku pulang shooting, ibu melihat undangan yang ada di tanganku, ibu menanyakannya,

"Undangan dari siapa itu Dis?" Tanya ibu

"Dari mas Prastowo bu, minggu depan dia akan menikah dengan calon pilihan orang tuanya." Jawabku

Mendengar itu, ibu langsung memelukku, "Kamu yang kuat ya nak, ikhlaskan saja, kalau dia memang jodoh kamu, kalian berdua pasti akan di pertemukan Allah."

Aku menangis, aku gak kuat melihat kesedihan ibu, "Aku ikhlas kok bu, aku hanya kasihan sama mas Prastowo."

Ibu bilang, semakin aku berlapang dada menerima kenyataan, Allah akan semakin menguatkan jiwa aku. Ibu minta aku selalu ikhlas menghadapi kenyataan yang pahit, karena dengan begitu, aku akan semakin kuat menghadapi kenyataan.

Ibu benar, karena aku sama sekali tidak punya beban menerima undangan Prastowo, karena jauh-jauh hari aku sudah mempersiapkan diri aku untuk menghadapi kenyataan itu. Begitu kenyataannya memang begitu, aku sudah tidak tersakiti lagi.

Aku malah mendoakan agar Prastowo benar-benar menemukan jodohnya, dan bahagia dengan isterinya. Begitulah cara aku menyayangi orang yang sangat aku cintai. Kadang cinta memang tidak harus memiliki.

"Kamu harus hargai undangannya Dis, dia mengundang kamu, bukan untuk menyakiti kamu, karena dia sangat menghargai kamu." Pesan ibu

"Iya bu, aku memang akan datang, aku minta ibu temani aku ya." Aku bilang gitu sama ibu

"Iya, ibu akan temani kamu, kita harus saksikan kebahagiaan Prastowo." Ucap ibu

Aku sangat bangga sama ibu, karena ibu mempunyai hati dan jiwa yang kuat. Ibu tidak merasa tersakiti oleh bapak, meskipun di tinggal begitu saja oleh bapak, ibu mudah memaafkan bapak, karena hatinya selalu ikhlas.

Bersambung

Gadis Bukan Perawan [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang