~ Prastowo Butuh Kepastian Gadis ~

28 4 0
                                    

Prastowo yang merasa sudah mengantongi restu orang tuanya, dia meminta kesediaan dari aku. Sementara aku sendiri juga sudah mendapat restu dari bapak, hanya saja aku masih ingin menunda pernikahannya dengan Prastowo.

Di lokasi shooting, Prastowo tanyakan hal itu pada sama aku,
"Gimana Dis, bapak kamu kira-kira mau gak menjadi wali kamu nanti?" tanya Prastowo, saat kami berdua sedang berada di ruang kostum

Aku yang sedang duduk santai, menjawab seperti biasanya dengan jawaban yang masih menggantung,

"Bapak sih pada prinsipnya mau menjadi wali mas, meskipun dia tetap kesal sama aku."

"Berarti sudah gak ada halangan dong buat kita segera menikah?" tanya Prastowo lagi

"Ya aku sih prinsipnya seperti yang pernah aku bilang mas, aku gak ingin buru-buru."

"Apa lagi masalahnya Dis? Kan semua sudan merestui?"

"Kan aku sudah bilang berulang-ulang sama kamu mas, kamu itu baru saja bercerai."

Aku tahu kalau Prastowo tidak suka dengan jawaban aku tersebut, karena dia ingin kami segera menikah. Tapi bagi aku, pernikahan kami tidaklah sesederhana itu masalahnya, meskipun aku sangat mencintai Prastowo.

"Kenapa sih mas? Kan kita masih harus bersabar? Kita ikuti saja takdirnya seperti apa nantinya."

"Aku merasa aneh aja Dis dengan sikap kamu, tidak ada alasan untuk menundanya, tapi kamu bersikeras untuk menundanya.'

"Urusan perceraian kamu saja belum beres mas, maksud aku, selesaikan itu dulu."

Aku dan Prastowo sepertinya belum menemukan kesepakatan dalam soal ini, dia mau segera, sementara aku masih ingin menundanya. Perdebatan ini kalau aku teruskan, akan berakibat tidak baik bagi kerukunan kami berdua. Aku minta pada Prastowo agar tidak membicarakan hal itu dulu.

"Bisa gak mas kita tidak membicarakan masalah ini dulu?" tanyaku

"Terus kita harus membicarakan masalah apa lagi Dis? Kan kita sudah sepakat untuk menikah?" Prastowo balik bertanya

"Kita bicara soal aktivitas kita dulu aja, aku tahu kita sudah sepakat untuk menikah, dan itu tidak berarti harus buru-buru."

Prastowo hanya terdiam, dia tidak langsung merespon apa yang aku katakan. Aku tahu dia sangat menginginkan kami segera menikah, karena dia ingin merasakan hidup berdua dengan aku di rumah kami yang baru dia bangun.

Aku memang tidak bimbang ingin menikah dengan Prastowo, hanya saja aku tidak bisa segera menikah. Sebagai seorang wanita, aku juga bisa merasakan bagaimana perasaan isterinya jika kami segera menikah.

Sayangnya, Prastowo tidak mau tahu dengan pertimbangan aku itu.
"Aku bingung Dis, dulu saat belum  di restui, kita susah payah untuk mendapatkan restu tersebut, sehingga kita gagal menikah,"

"Sekarang pun aku belum tahu mas, apakah orang tua kamu betul-betul merestui, karena aku belum mendengarnya sendiri dari orang tua kamu."

"Okey.. kapan kamu mau aku temukan sama orang tua aku? Biar kamu dengar sendiri seperti apa orang tua aku memberikan restu?" tanya Prastowo

Di tanya seperti itu, aku malah bingung menjawabnya, dan aku masih berkelit untuk segera di pertemukan,

"Nantilah setelah menemukan saat yang tepat mas." jawabku

Prastowo mendekat ke sampingku, "Kapan itu Dis saatnya? Kenapa sih kamu selalu berkelit kalau aku meminta kepastian kamu?"

Aku memegang pipinya, dan menatap kedua bola matanya, "Mas.. aku gak berkelit, aku hanya butuh waktu, dan itu tidak berarti aku ingin menundanya." jawabku

"Entahlah Dis, aku sudah kehabisan kata-kata untuk meneruskan pembicaraan ini." ujar Prastowo sambil berdiri

Dia sepertinya sangat kecewa, karena aku belum bisa memastikan kapan aku bisa menemui orang tuanya. Bagi aku, dengan menundanya untuk satu bulan kedepan, adalah hal yang sangat wajar, tapi tidak bagi Prastowo.

Aku sendiri merasa heran, kami berdua saling mencintai, tapi pada kenyataannya kami berdua sangat sulit untuk di persatukan. Dulu saat aku sangat bersemangat ingin menikah dengan Prastowo, ternyata orang tuanya tidak bisa terima aku. Sekarang saat orang tuanya sudah merestui, justeru aku yang kehilangan semangat.

Prastowo hanya memandangku sambil berdiri, dia  benar-benar seperti kehabisan kata-kata.

"Kita stop dulu bicara soal pernikahan kita ya mas? Sebentar lagi teman-teman pada datang." Aku katakan itu sambil menatap wajahnya yang lesu

Kebetulan sutradara datang duluan, dia menyapa aku dan Prastowo,
"Selamat pagi Pras.. Gadis," sapa mas Dwi sutradara, "Pagi juga mas.." jawab aku dan Prastowo.

Mas Dwi bergabung dengan aku dan Prastowo, "Wah kalian berdua ini ternyata pemain yang patut di teladani kedisplinannya." puji mas Dwi

"Kita sudah terbiasa seperti ini mas, karena tidak biasa di tunggu sih mas." ujar Prastowo

"Ehh.. dengar-dengar gossipnya, kalian berdua mau menikah ya?" tanya mas Dwi

"Iya mas, cuma belum tahu kapan waktunya, Gadis masih perlu waktu untuk memastikannya mas." jawab Prastowo

"Menunggu hari baik, bulan baik mas." jawabku

"Sebetulnya, kalau sudah sama-sama sepakat untuk menikah, tinggal putuskan aja sih." saran mas Dwi

"Kalau saya sih prinsipnya juga gitu mas, tapi kan Gadis beda lagi, inilah yang kami bahas tadi." jelas Prastowo

Aku kasih alasan pada mas Dwi, bahwa Prastowo baru saja bercerai, kurang elok kalau kami segera menikah. Dan mas Dwi juga mendukung alasan aku, karena memang kurang etis menurutnya.

Mas Dwi menganggap kalau hal seperti itu sangat sensitif, dan akan menjadi pembicaraan publik, karena kami berdua artis, dan selalu menjadi objek pemberitaan. Ada bagusnya menunda terlebih dahulu, sampai situasinya adem.

"Biar bagaimana pun, mantan isteri kamu jelas akan kaget kalau tahu kamu sudah nikah lagi, dan dia pasti anggap Gadis adalah pihak ketiga yang ikut memicu perceraiannya." jelas mas Dwi

"Itulah alasan aku menundanya dulu mas, hanya ingin menjaga perasaan mantan isteri mas Pras."

Mas Dwi menganggap alasan yang aku kemukakan sangat logis. Dan Prastowo mulai bisa menerima alasan tersebut.

"Tadinya saya berpikir, kita tidak perlu memperdulikan anggapan orang lain mas, karena yang akan menikah kami berdua." ujar Prastowo

"Gak bisa gitu sih Pras, kamu juga harus jaga perasaan isteri kamu. Dan Gadis yang akan jadi sorotan dalam hal ini nantinya."

Untung ada mas Dwi yang bisa menengahi, kalau hanya kami berdua yang membahas hal itu, bisa-bisa kami berdua malah berantem, dan gak jadi menikah. Penjelasan mas Dwi sangat di terima oleh Prastowo, dan dia mengakui kalau alasan itu sangat logis.

Aku hanya bisa memberikan kepastian pada Prastowo dengan cara seperti itu, bukannya aku ingin menolak pernikahan kami, tapi aku hanya menuda waktu pelaksanaaannya saja.

Menjelaskan sesuatu di saat kondisi psikologis Prastowo yang sedang tidak bagus, bukanlah sesuatu yang tepat, apa lagi kalau cuma aku yang menjelaskannya. Sementara dia tidak berpikir tentang psikologis yang akan aku hadapi.

Bersambung

Gadis Bukan Perawan [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang