24. Don't Leave Me

2.8K 303 16
                                    

"Sebelum membuat orang lain bahagia, bahagiakanlah dirimu terlebih dahulu."

.
.
.


Ruangan besar dengan cat berwarna putih itu terlihat sangat sunyi. Hanya ada satu sosok tampan, berwibawa tengah sibuk menatap layar komputer besar dihadapannya. Membaca satu persatu berkas dalam bentuk soft copy yang diberi sekretarisnya.

Jeffan menyugar rambutnya kebelakang, kepalanya sedikit pening hari ini mengingat ia belum makan siang, dan sekarang jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat tiga puluh menit. Mungkin jika ia menikmati sarapan dengan baik, ia tidak akan seperti sekarang. Hanya saja ia tak sempat menyantap sarapan istrinya, karena harus pergi menemui rekan kerjanya.

Netranya tak sengaja menatap photo yang ia jejerkan rapi di dekat komputernya. Photo dirinya beserta Sineera, Jenan, dan Chandra. Satu lagi Photo Jemiel bersama Kirana.
Jeffan menatap wajah Kirana lama, wajah yang ia sangat rindukan kehadirannya.

Tak, Jeffan sama sekali tak menyalahkan Kirana ataupun Jemiel. Ini sudah menjadi tanggung jawabnya mengurus putranya, darah dagingnya. Mulai saat ini ia ingin memfokuskan dirinya pada Sineera, istri satu-satunya.

"Pak?"

Jeffan tersentak saat sekretarisnya memanggil.

"Maaf. Saya sudah panggil bapak dari tadi tapi tidak ada jawaban. Jadi saya langsung masuk."

"Ada apa?" Tanya Jeffan, dengan kembali menyibukkan diri dengan komputernya.

"Ada pak Dirga diluar."

"Ck. Ngapain dia kesini? Tanya perlunya apa. Kalau tidak penting saya tidak mau bertemu."

"Sekarang ketemu lo sulit, ya." Dirga masuk dengan santai kemudian duduk disofa tanpa memperhatikan sekretaris Jeffan yang sudah takut. Takut tiba-tiba Jeffan marah. Sekilas Jeffan memberikan kode pada sekretarisnya untuk keluar. Memberikan sedikit waktu padanya, dan Dirga.

"Ngapain?" Tanya Jeffan.

"Mau minta maaf." Jawab Dirga cepat.

Jeffan menaikkan sebelah alisnya. Ia tak mengerti maksud kedatangan Dirga, dan juga alasannya. Tanpa melanjutkan pekerjaannya lagi, Jeffan memilih beranjak dari kursi yang menopang tubuhnya, beralih pada sofa yang diduduki Dirga.

"Aura, dan Sineera. Gua minta maaf karena Aura bersikap berlebihan kemarin."

"Dia beneran calon istri lo?" Dan Dirga mengangguk mantap untuk pertanyaan Jeffan.

"Dia pernah kehilangan bayi, itu kenapa dia sempat bicara perihal kehilangan anak didepan istri lo. Dia cuma gak suka ada orang tua yang gak merhatiin anaknya, walaupun anak itu sudah dewasa."

"Gua juga salah, Dir. Harusnya gua gak ajak Sineera buat perpanjang liburan. Dia juga sempat bilang kasihan Jemiel, dan Chandra dirumah."

"Terus kenapa lo maksa?" Tanya Dirga.

"Lo gak boleh egois, Jeff. Anak lo belum menikah, mereka masih bergantung sama kalian. Terutama lo, sosok Papa sekaligus tiang dalam keluarga."

Tak ada jawaban dari Jeffan. Dirga hanya bisa melihat Jeffan yang menopang sikunya pada paha, sementara tangannya meremat rambut.

"Chandra udah baikan sama Sineera, kan?"

"Udah, tapi Chandra masih gak mau makan bareng. Gua sih gak masalah, cuma Sineera yang selalu ngerasa dirinya bersalah."

Dirga tidak terkejut atau heran dengan kalimat Jeffan. Chandra tak mau makan bersama bukan karena masih kesal. Anak itu tak bisa mengkonsumsi makanan sembarangan. Bisa saja, tapi Dirga sudah wanti-wanti, dan melarang. Itu juga demi kesehatannya. Jadi Chandra hanya akan makan masakan yang dibuat oleh dirinya, Alisya, dan Aura. Jika membeli itu harus ditempat yang menurut mereka memang bersih.

FEELING BLUE (CHANDRA) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang