12. Yang Terjadi Sebenarnya

3K 373 20
                                    

Satu persatu piring tertata dimeja makan. Dibalik punggung tegap wanita yang berstatus istri Jeffan itu, ia menangis. Tak bersuara, hanya bulir air mata yang menetes. Semalam ia kembali mengurung diri dikamar.
Alasannya? Siapa lagi jika bukan Jeffan.

"Ma?"

Dengan cepat Sineera mengusap pipi putihnya. Tak ingin anak-anaknya kembali melihatnya menangis.

"Hmm?" Gumam Sineera dalam posisi memunggungi Jemiel, sembari mengaduk kopi untuk Jeffan.

"Ayo sarapan. Papa udah mau turun juga." Ujar Jemiel.

Sineera hanya mengangguk. Ia tak bisa sekedar untuk menjawab Ya. Suaranya akan terdengar jelas seperti setelah menangis. Wanita itu hanya mengulum bibirnya.

Ia tak bohong jika saat Jemiel datang, semua memang berubah. Keadaan rumah ini seperti tak tenang.
Sineera melirik ke belakang sebentar. Dan telah mendapatkan suami, dan anak-anaknya duduk untuk sarapan. Ia tak melihat Chandra. Bahkan ia bisa hitung dengan jari, berapa kali Chandra ikut sarapan bersama.

Tepat setelah memikirkan Chandra, anak itu turun dengan langkah pelan. Sineera merutuki dirinya yang tak bertanggung jawab akan anaknya. Semalam Chandra datang, ia tak sempat sekedar untuk menanyakan sudah makan belum. Dan ia dapati sekarang, anaknya lemas, dan sedikit pucat.

"Papa lihat slip tarik tunai." Jeffan meletakkan sebuah kertas kecil dengan angka-angka yang tertera diatasnya.

"Ngapain kamu tarik uang sebanyak ini? Kamu belanja apa?" Tanya Jeffan lagi.

Chandra meruruki dirinya tak membuang kertas itu.
"Papa dapat darimana?"

"Gak usah mengalihkan. Papa tanya untuk apa kamu tarik uang segini?"

Chandra benar-benar takut untuk jujur.
"Untuk beli sepatu, pa." Bohong Chandra.

"Apa pernah papa ngajarin kamu hura-hura uang? Beli barang yang memang patut kamu beli, yang memang kamu butuhkan. Bukan untuk sekedar digunakan untuk bergaya."

"Jeff." Sineera berusaha mengelus lengan Jeffan. Ia sudah lelah, tapi sepertinya suaminya ini memang senang mencari kesalahan Chandra.

"Kamu belum pernah bekerja. Belum tahu susahnya bekerja seperti apa. Papa kasih kamu uang untuk keperluan penting. Bukan untuk sekedar buat foya-foya"

"Maaf, pa." Gumam Chandra pelan.

"Maaf terus. Kamu bikin papa capek, Chandra. Apa fungsinya punya telinga, dan otak jika tidak dipakai?"

"PA?!" Bentak Jenan.

"Apa? Kamu mau bela adik kamu lagi?"

Jenan menggertakkan giginya keras, dengan tangan mengepal kuat.
"Apa pantas seorang ayah berkata kasar seperti yang papa ucapkan tadi? Kita tahu fungsi telinga, dan otak, pa. Sayangnya telinga, dan otak kita enggan untuk mencerna kalimat yang papa ucapkan."

"Bang..."

"Apa?" Tanya Jenan pada Jemiel yang sebelumnya memanggil dirinya.

"Lo gak tahu diri Jem. Lo merusak hari-hari kita disini. Kehadiran lo bikin masalah."

PLAK

Jeffan menampar pipi Jenan untuk kedua kalinya. Yang ditampar kini hanya mengusap pipinya pelan, ada rasa perih yang menjalar. Namun ia coba tahan sebisa mungkin.

"Ini kedua kalinya tangan itu papa gunakan buat menampar Jenan. Besok tangan itu bisa papa pakai untuk bunuh Jenan."

Chandra seketika pusing. Ia segera menyeret Jenan untuk keluar. Telinga, dan matanya sudah tak mampu mendengar, dan melihat pertikaian penuh emosi dihadapannya ini.

FEELING BLUE (CHANDRA) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang