"Berjalan sesuai kecepatan adalah yang paling baik. Bukan karena tak mau mendengarkan ucapan orang lain, hanya saja yang tahu bagaimana kita, mampu tidaknya adalah diri kita. Jadi... percayalah pada diri sendiri, dan ikuti jalur yang kamu rasa itu benar untuk dilalui."
.
.
.
Ada banyak arti bahagia bagi seseorang. Bahagia pada hakikatnya adalah bukan saat dimana keinginan kita tercapai, melainkan dapat menerima keadaan dengan lapang dada. Sulit, bukan? Terdengar pasti bisa dilalui tapi nyatanya tak semudah itu.Selain itu, dari semua masalah yang mengharuskan kita untuk lapang dada pada suatu kondisi ada hal positif yang dapat kita petik. Yaitu belajar kuat walaupun sendiri.
Rasanya ingin meminta pada semesta. Tapi apa bisa? Ingin meminta agar diri diajarkan untuk mengikhlaskan apa yang sudah pergi. Ingin meminta diikhlaskan perihal apa yang tak lagi bisa didekap. Sebab semuanya sudah pergi abadi tanpa bisa digapai lagi. Ingin meminta agar diri ini ditampar, dan disadarkan bahwa ini bukanlah mimpi buruk melainkan ini kenyataan yang harus bisa diterima.
Chandra, sosok laki-laki yang masih belum baik itu terus meyakinkan bahwa dirinya tak bermimpi. Sudah berusaha beranggapan bahwa kekasihnya memang benar pergi. Tapi tak semudah itu. Tiap mengingat wajah pucat itu, ia selalu ingin menangis.
Kini air matanya kembali menerobos keluar kala ia tak juga mendapat kabar perihal sosok yang ia anggap sebagai Ayah kedua. Ya, siapa lagi jika bukan Jenan.
Netranya menatap Jemiel yang datang dengan balutan pakaian putih bersih. Ditangannya ada tas kecil yang Chandra tak tahu apa isinya. Sosok yang baru saja menutup pintu itu berjalan pelan menuju bed Chandra. Pelan tanpa suara.
Hening beberapa detik, bahkan setelah Jemiel meletakkan tas sampai merapikan selimut Chandra pun tak ada kalimat yang terlontar dari keduanya. Chandra sibuk menatap jemarinya, sementara Jemiel sibuk menatap gerak tangannya.
"Semua sudah pulang." Ujar Jemiel.
"Papa, Mama, Om, dan Tante..."
"Tinggalin gua, Jem." Ucap Chandra padahal ucapan Jemiel belum selesai.
"Kalo memang gua gak bisa ketemu Alisya, dan gak bisa ketemu Abang... tinggalin gua sekarang."
Jemiel menggeleng. Sebenarnya ia tak bisa bernafas dengan baik sekarang, tapi ia terus menarik oksigen sebanyak mungkin agar tak sesak. Ya, ia harus tegar agar Chandra bisa tegar juga. Ia mungkin tak akan bisa menjadi Jenan, tapi ia akan menjadi dirinya untuk sosok dihadapannya. Menenangkan Chandra dengan caranya. Membuag nyaman dengan caranya. Karena tidak ada jalan lain. Jenan sudah berpulang.
Laki-laki itu meraih tas yang ia letakkan dikursi.
"Gua bantu ganti pakaian. Setelah itu gua ajak lo ketemu keduanya."Chandra benar-benar hanya diam. Tubuhnya terlalu lemas, ingin menangis rasanya seperti tak mampu lagi, air matanya seolah telah habis terkuras.
Melihat saudaranya hanya diam, Jemiel dengan pelan mengeluarkan pakaian dengan warna senada dengan miliknya untuk Chandra. Laki-laki itu mulai membantu saudaranya untuk berganti pakaian. Ini adalah kali pertama ia melakukan ini. Ada gelenyar bahagia, tapi nyatanya kondisi sekarang tak baik untuk bahagia.
"Hiksss..." Isak Jemiel mulai terdengar jelas ditelinga Chandra. Laki-laki yang tengah dibantu oleh Jemiel menggunakan pakaian itu hanya memejamkan mata. Hatinya kembali sakit saat mengdengar isakan Jemiel, saudara tirinya sekaligus adik baginya.
"Maaf... Chandra. Kita memutuskan untuk memberi kejutan ini secara tiba-tiba."
Pada dasarnya, jika sudah kebiasaan berbohong maka sampai kapanpun akan terbiasa. Seperti sekarang ini, bahkan tanpa memikirkan bagaimana perasaan Chandra, mereka memilih bungkam sampai nanti Chandra tahu sendiri bahwa Jemiel akan membawanya pulang ke rumah untuk memakamkan Jenan. Bukan ke tempat Alisya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FEELING BLUE (CHANDRA) ✔
Fanfic"Kalau memang hadirku tidak membuat mereka bahagia, tolong gantikan posisiku sebentar, ya?" Start: 05 Desember 2021 End: 26 Maret 2022 author: sntsinlee 2021