51. Kadang Kala Jahat Itu Perlu, Kan?

1.5K 204 11
                                    

"Suatu pelajaran yang baik, akan datang dari luka yang paling hebat, dan berat."

.
.
.

Dirga terus melirik ke arah sosok yang masih terbaring lemas di ruang ICU. Ya, ICU. Siapa yang akan menyangka jika anak kuat ini akan terbaring lemas disini. Dirga menggigit bibir bawahnya, matanya mulai memanas saat mengingat bahwa Jenan belum juga sadar dari operasi kemarin sampai saat ini. Entah apa yang harus ia katakan lagi pada Chandra nanti jika anak itu bertanya perihal Abang tersayangnya ini.

Jujur saja, Dirga sudah sangat lelah berbohong. Berbohong secara terus menerus. Kenapa kebiasaan ini selalu ia lakukan. Apa dengan berbohong semuanya akan bahagia? Apa dengan berbohong rajutan benang kusut ini akan kembali lurus? Bagaimana jika tidak? Apa ia bisa menerima konsekuensinya nanti?

Dirga berjalan pelan ke arah bed milik Jenan. Hatinya kembali ditusuk banyak  duri saat ini. Ia tak suka melihat ini, setelah melihat Chandra terbaring lemas sejak ia mengetahui anak itu sakit, kini ia harus melihat anak kuat dihadapannya juga terbaring lemas tak sadarkan diri. Hati orang tua mana yang tak sakit? Bahkan dirinya yang bukan orang tua dua orang ini saja sangat terluka.

"Jenan... Good morning." Ujar Dirga.

"Jenan dari semalam tidur disini, gak pusing dengar alat yang bunyi itu?" Arah pandang Dirga melirik sedikit ke alat medis yang mengeluarkan suara.

"Om, dan Tante saja pusing."

Dirga mengelus surai gelap Jenan. Ia tak tahu jika setelah operasi, kondisi anak ini justru melemah. Membuatnya harus terpaksa diam diruangan ini sampai keadaannya membaik.

"Papa, dan Mama tadi sempat kesini. Tapi kembali lagi ke ruangan Chandra."

"Jenan gak kangen sama mereka? Mama dari kemarin sampai gak tidur karena jagain Jenan disini. Papa sampai uring-uringan. Bahkan Om kena omel kemarin."

Dirga tersenyum kecil saat mengingat bagaimana kemarin ia dimarahi oleh sahabatnya.

"Ayo bangun ya, nak?"

"Banyak yang menunggu Jenan sadar. Apalagi Serina, dia bahkan kemarin sempat pingsan."

Netra Dirga teralih pada banyaknya alat medis yang terhubung dengan tubuh Jenan. Jika dilihat-lihat, ia dan Jeffan tak pernah sakit sampai seperti ini. Tapi kenapa dua anak muda ini harus menerima ini lebih dulu? Pasti sakit, kan? Rasanya hidup hanya bergantung pada alat itu.

"Om sudah janji pada Jenan sebelum operasi, kan? Jenan boleh langsung jenguk Chandra usai operasi."

"Jadi ayo sekarang bangun. Om akan antar Jenan ke tempat Chandra."

Dirga menangis. Ia tak melepas maskernya, membiarkan air matanya membasahi masker yang ia gunakan. Kepalanya kini mulai tertunduk, dengan tangan masih mengelus surai Jenan.

"Papa, Mama, Chandra sudah sakit. Om benar-benar berharap kamu bisa melepas sakit mereka, tapi kenapa sekarang Jenan yang sakit? Kalau sudah seperti ini, Om bisa berharap pada siapa?"

"Hiksss... jangan seperti ini, nak. Tolong jangan sakit."

Seperti harapan Jeffan, dan Sineera kemarin. Kini Dirga juga mengucaokan hal yang sama. Berharap sosok dihadapannya segera sadar.

FEELING BLUE (CHANDRA) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang