35. Terbuka Agar Bisa Dipahami

3.2K 345 108
                                    

"Mendewasakan diri dengan sedikit lebih terbuka."

.
.
.

Hari berganti, dan malam ini dengan lampu sedikit redup menjadi pilihan Chandra untuk menenangkan dirinya, sekaligus merehatkan tubuhnya setelah hari ini menghadiri akad nikah Dirga, dan Aura. Ya, dirinya dan keluarganya ikut menjadi saksi Dirga mengucap janjinya pada Tuhan untuk mengikat Aura. Masih terbayang dibenak Chandra, bagaimana Dirga menangis saat hubungannya bersama Aura kini menjadi sah secara hukum, dan agama. Ah tak terasa, Omnya yang seusia Papanya kini sudah beristri, dan siap memiliki bayi, pikir Chandra.

Hening sejenak, ia memilih untuk memutar kembali apa yang sudah terjadi sebelumnya. Bermodalkan kursi, Chandra memilih duduk di dekat jendela kamarnya. Jika saja kakinya tak lemas, ia tak perlu menggunakan kursi ini. Karena baginya sangat nyaman berdiri sembari menatap luar jendela yang dihiasi rintikan hujan, daripada duduk.

Pandangannya fokus keluar, tangannya sedari tadi tak berhenti meremat satu sama lain. Mencoba menyalurkan rasa bersalahnya. Chandra menunduk, menatap kakinya yang berbalut sandal rumahan. Entah yang ia lakukan kemarin benar atau tidak, ia hanya ingin merealisasikan yang ia pikir akan baik untuk semua pihak. Semua pihak itu adalah dirinya, Greya, Jemiel, dan Alisya.

Tak, dirinya tak mau menyalahkan siapa-siapa lagi saat ini. Baginya menyalahkan hanya akan membuat permasalahan ini menjadi besar. Ia cukup mengalah akan ini, dan berharap semuanya akan baik.

Bukankah ini terlihat seperti 'Dia memunculkan yang terburuk dalam diriku, dan merupakan hal terbaik yang pernah terjadi padaku?'

"Greya? Aku minta maaf. Jangan marah, jangan cari aku lagi, ya?"

Chandra tetap menunduk. Menggigit pipi dalamnya menahan sesak yang kembali menggerogoti dadanya.

"Maaf karena ucapanku kemarin seperti memojokkanmu. Aku juga gak luput dari salah, Grey. Aku laki-laki jahat. Yang memang dari awal sebenarnya gak seharusnya kamu terima untuk jadi pacar."

"Maaf mematahkan hatimu seperti ini. Harusnya aku bisa menyelesaikan lebih baik dari ini. Harusnya aku konsisten pada ucapanku yang gak akan memutuskan hubungan, dan lebih baik diputuskan."

Kembali ia meneggakkan kepalanya. Merasakan panas disekujur tubuhnya yang membuatnya berkeringat. Bayangan gadis itu masih ada dibenaknya, bagaimana Greya memohon, menangis, bahkan merengek. Tak dipungkiri Chandra merasa dirinya salah disini, dan ia juga tak menampik bahwa Greya masih berada dihatinya meskipun rasa kecewanya akan gadis itu juga memenuhi rongga dadanya.

"Harusnya kamu bisa hukum aku dulu karena aku brengsek, Grey. Harusnya kamu bisa lebih banyak marahin aku, tapi aku justru memotong, dan mengatakan untuk berpisah."

"But, I think this is the best for us. Aku udah bikin kamu lelah, sakit, dan terluka. Sama halnya dengan ucapanku untuk Jemiel. Aku juga gak mau kamu menahan sakit lebih lama, dan terus-terusan."

"Aku cukup tahu diri, aku udah buat kamu seperti ini, jadi lebih baik kita berpisah, dan dengan begitu juga kamu gak perlu tahu sakitku."

Chandra menaikkan tangannya, menatap dengan lekat telapak tangannya sembari memutar waktu. Dimana tangannya biasa bergandengan dengan Greya baik saat dikuar, atau dikampus. Dimana tangannya yang selalu dielus Greya saat dirinya dirundung kegelisahan tentang apapun itu.

"A-aku sakit, Grey." Ujar Chandra pelan.

"Hiksss... sakitku lebih parah dari sakit yang aku rasain sekarang. Walaupun aku tahu sakit yang gak berdarah itu lebih menyakitkan daripada sakit fisik, tapi jujur aja aku gak bisa nahan sakit fisikku."

FEELING BLUE (CHANDRA) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang