53. Berdamai Dengan Luka, Tapi Tidak Dengan Trauma

1.6K 225 43
                                    

"Setiap orang bisa berdamai dengan luka dimasa lalu. Tapi tidak semua orang bisa sembuh dari trauma."

.
.
.

Langkah Jemiel terhenti. Laki-laki dengan paras tampan itu awalnya ingin menyusul kedua orang tuanya, dan juga Jenan. Namun belum sempat ia mendudukkan diri dikursi depan ruang operasi, ia lebih dulu melihat Jenan berjalan menjauh dari kedua orang tuanya.

"Pa... Abang mau kemana?"

Jeffan yang masih duduk disamping Sineera terkejut saat melihat putra ketiganya berdiri dihadapannya.

"Oh... itu Abang bilang mau ke kamarnya. Katanya mau istirahat."

Lagi, Jemiel mengernyit.

"T-tapi dikamar Abang gak ada Om..."

"Abang bilang gak apa sendiri, Jem."

"Jemiel temenin Abang boleh?"

Sineera sontak mengangguk sembari tersenyum.
"Tolong jaga Abang dulu, ya? Mama mau nunggu Chandra sampai keluar ruang operasi."

Jemiel mengangguk mantap. Ia berlari menuju arah kamar Jenan. Namun saat berbelok ke lorong yang ingin ia tuju, ia melihat Jenan yang berjalan menuju lift. Yang mana lift itu hanya akan membawa orang di dalamnya menuju lantai bawah.

"Abang mau kemana?" Gumam Jemiel.

Dengan cepat, Jemiel menuruni anak tangga. Ia tak mungkin menggunakan lift pasien karena itu sama saja melanggar aturan. Kakinya terus menuruni anak tangga, sampai kini ia berada tepat dibasement Rumah Sakit.
Netra Jemiel melihat Jenan menerima kunci mobil dari seseorang yang ia tak tahu itu mobil siapa.

Benar, Jenan memang harus diwaspadai. Bahkan dalam keadaan sakit saja ia bisa menyediakan kendaraannya untuk saat ini.

Hendak masuk, tangan Jenan dicegah Jemiel lebih dulu. Kini Jemiel bisa lihat, tatapan emosi itu kembali terlihat. Entah Jenan marah pada dirinya atau siapa, Jemiel tak tahu.

"Abang mau kemana?" Tanya Jemiel pelan.

"Lo ngapain disini, Jem?"

Jemiel menggeleng, dan menutup pintu mobil.
"Bang, Abang lagi sakit. Kalo Abang keluar sekarang, nanti bekas operasinya..."

"Gua bisa tahan, Jem. Lagi pula sakitnya gak terlalu terasa sekarang."

"Sama aja, Bang. Papa sama Mama bisa marah kalo liat Abang keluar."

Jenan kini menatap Jemiel dengan tatapan sulit diartikan. Jika boleh jujur, Jenan juga merasakan bahwa kakinya belum bisa menopang bobot tubuhnya. Belum lagi kepalanya yang masih sedikit pusing. Karena efek operasi kemarin.

"Gua gak ada waktu untuk sekedar diam, Jem. Entah apa yang udah Arlan lakuin..."

"Bang, gua mohon fokus pada proses pemulihan. Besok kalo Abang udah sehat, dan Dokter beri ijin untuk pulang, Abang bisa pergi kemana aja. Tapi sekarang jangan dulu, Bang."

"Gak bisa, Jem." Jawab Jenan dengan nada sedikit meninggi.

"Gua lihat Alisya tadi. Entah dia datang dari mana gua gak tahu, tapi dia datang dengan kondisi tubuh gemetar. Gua tahu dia takut akan sesuatu, dan itu pasti karena Arlan."

Memang benar, Jemiel bahkan melihatnya langsung bagaimana beraninya gadis itu pada Arlan.

"Awas, Jem."

"Terus Abang mau kemana sekarang? Mau ketemu Arlan?"

"Just make sure. Gua harus lihat sendiri bahwa dia gak ngusik kita."

FEELING BLUE (CHANDRA) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang