16. Sebuah kebenaran

169 9 4
                                    

Ada satu kebenaran yang terkuak di malam itu. Malam ketika Anna harus menghadapi kenyataan pahit yang akan terjadi dalam  hidupnya. Malam yang memperlihatkan satu kebenaran tentang masa lalu yang telah lama di sembunyikan oleh Halim pada semua orang, termasuk dirinya sendiri. Masa lalu yang menentukan hidupnya bersama Halim.

Keesokan harinya, Anna terbangun. Matanya perlahan terbuka. Cahaya matahari masuk ke kamarnya melalui celah dinding papan rumahnya. Tak didapatinya Halim berada disampingnya. Setelah apa yang terjadi padanya dan Halim semalam, dia nampaknya berpikir sikap Halim akan berubah terhadapnya. Namun nampaknya sikap Halim tidak ada bedanya dari sikapnya yang sebelumnya.

Anna bergegas turun dari dipan kayunya. Kakinya terdengar berjalan menuju depan cermin dan mengamati seluruh bagian tubuhnya yang nampak terbalut dengan sarung batik berwarna coklat. "apa aku bermimpi semalam?, apa Halim benar-benar telah menyentuhku?" gumamnya di depan cermin. Tatapannya tertuju pada salah satu bagian lehernya yang terdapat tanda bekas ciuman kecil. Itu tidak lain adalah tanda bekas ciuman Halim. "Ah, ternyata dia telah menyentuhku" pikiran Anna tertuju pada ingatannya semalam. Matanya tampak terpejam mencoba mengingat kembali setiap detail momen yang ia rasakan bersama Halim. Bagaimana dirasakannya bibir Halim bermain di bibirnya, hingga dilihatnya wajah Halim yang tengah menatap wajahnya berada di atas puncak kenikmatan. Semua ingatan semalam itu tidak akan pernah ia lupakan, karena baginya Halim sekarang telah memberikan apa yang selama ini ingin ia rasakan setelah menyandang status sebagai istrinya.

Anna terperanjat kaget dengan suara yang didengarnya dari balik pintu kamarnya. "Apa yang kau lakukan?"

Dia sadar itu adalah suaminya, Halim.

"Halim"

Tatapan Halim mengamati sarung batik berwarna coklat yang dikenakannya. Warna sarung batik itu tampak memperlihatkan kulit putih mulus dan bersihnya serta warna bibir merah meronanya, membius mata Halim yang tak sadar menelan salivanya.

"Aku.."

"Apa kau akan terus berdiri seharian disitu?" tanya Halim padanya. Pandangannya di alihkannya ke arah lain.

Anna yang tampaknya menangkap tatapan Halim yang dipalingkannya itu ke arah lain bergegas menuju ke tempat Halim. Namun belum sempat ia mendekat, dirasakan olehnya sebuah benda ketika dia menginjakkan kakinya. Itu tidak lain adalah sebuah foto lama yang jatuh dari lemari pakaian Halim. Pada saat yang bersamaan, dia juga melihat Halim yang terus memperhatikan bekas ciuman di lehernya. Dengan segera ia menutupinya dengan rambutnya yang tergerai.

"Apa kau tidak nyaman dengan itu?" tanya Halim padanya.

Anna yang sadar dengan maksud Halim langsung menjawabnya dengan cepat "Ah, tidak!"

Kakinya terdengar diketuk ketukannya di atas lantai kayu, pandangannya mengamati seisi ruangan kamarnya seolah menemukan jawaban yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan Halim saat itu. "Aku menyukainya"

Ada sedikit senyum yang tidak perlihatkan Halim pada Anna ketika ia mendengar jawaban itu darinya. Terlebih ketika dia melihat sikap Anna yang terlihat malu-malu menjawab pertanyaannya tentang bekas ciuman di lehernya itu. Buru buru Halim mengambil ikat kepalanya yang terletak di atas meja kamarnya dan mendengar Anna berkata lagi padanya "ini pertama kalinya kau menyentuhku, Halim"

Halim terdiam sesaat mendengar perkataan itu. "aku berharap kau bisa melakukannya lagi," lanjut Anna dengan wajahnya yang masih terlihat malu malu.

Mendengar itu, Halim tampaknya benar-benar tidak bisa menyembunyikan expresi senyumnya dari Anna namun buru buru dia membelakangi istrinya itu yang tengah berdiri menghadap ke arahnya. Dia akhirnya meninggalkannya.

Anna - Istriku yang Buta dan Sakit JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang