Pagi-pagi sekali bang Malik mendengar ada suara kuda masuk ke halaman rumah. Diatas kuda itu terlihat seorang lelaki berpostur tinggi dan berambut ikal. Dia bertanya-tanya siapa gerangan lelaki itu. Agaknya seperti orang yang dikenalnya.
Kuda itu berhenti tepat di depan rumah. Bang Malik menoleh sebentar sekedar memastikan apakah Laki-laki itu adalah orang yang memang dikenalnya.
"Cari siapa?" tanya bang Malik yang melihatnya turun dari kudanya.
Lelaki itu tampak mengamati sekeliling rumah. "Apa ini rumah Halim Zainuddin?"
"Benar, ini rumahnya" bang Malik melihat tampang lelaki itu mulai dari atas hingga ke bawah. Dia terlihat mengenakan baju berwarna putih dengan ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit hewan. Ada sesuatu yang berbeda dari lelaki itu, tampangnya dilihatnya tak memakai ikat kepala layaknya penampilan para lelaki desa Kuban.
"Apa saya boleh bertanya siapa anda?" tanya Bang Malik . "Dan ada maksud dan tujuan apa anda datang kemari?"
"Saya Salman," lelaki itu memperkenalkan dirinya. "Saya adalah sepupu dari Anna Manika"
"Ah, begitu rupanya"
"Saya mampir sebentar untuk melihat rumah Anna dan Halim"
"Kalau begitu, silahkan masuk sebentar untuk bertemu dengan mereka"
"Tidak perlu" ujar Salman. "Sepertinya ini masih terlalu pagi untuk saya bertemu mereka, saya akan datang lagi lain hari"
Salman hendak menaiki kudanya yang berwarna kecoklatannya itu sebelum terdengar suara Anna yang memanggilnya dari lantai atas rumahnya.
"Salman"
Salman menoleh ke arah Anna. Dilihatnya dia tampak memakai kebaya serta rambutnya yang disanggul ke belakang. Penampilannya benar-benar membuat Salman sedikit terpaku.
"Aku akan berbicara sebentar pada Salman" ucap Anna pada bang Malik.
Bang Malik masuk ke dalam rumah. Dibiarkan olehnya Anna menuruni satu per satu anak tangga dan hendak berbicara dengan Salman.
"Salman" ucap Anna sekali lagi pada Salman yang terlihat memperhatikannya.
Salman tersenyum. "Kau sekarang terlihat berbeda, Anna"
"Maksudmu?"
"Maksudku kau terlihat cantik memakai kebaya itu"
"Ah, kau terlalu memujiku" seru Anna yang tidak ingin mendengar kata-katanya. "Bagaimana keadaan datuk Sutan dan Mak Ise?"
"Mereka baik"
"Bagaimana dengan keadaanmu juga?"
"Aku juga baik, Anna"
Anna seolah-olah mengerti dengan maksud kedatangan Salman. Dia pun berniat mengajak Salman masuk ke dalam rumahnya. Namun, keinginannya itu dicegah oleh Salman yang hendak berbicara dengannya.
"Anna, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu"
"Apa itu, Salman?"
Terdengar Salman menghela nafasnya sebentar. Matanya memandangi wajah Anna cukup lekat. "Apa kau bahagia menikah dengan Halim?"
Anna terperanjat kaget mendengar pertanyaan Salman. Pertanyaan itu bahkan tidak pernah terlintas dibenaknya sebelumnya. "Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Itu karena aku tau kau hanya terpaksa menikah dengannya. Bukannya kau juga tau saat itu kita hampir melangsungkan pernikahan kita?"
Wajah Anna terlihat menunduk di hadapan Salman.Wajah yang seperti dia ingin sembunyikan saat mendengar pertanyaan itu.
"Jawab aku Anna, apa kau bahagia menikah dengannya?"
Bahagia adalah kata yang belum bisa dirasakan Anna saat ini. Dia bahkan belum mengenal Halim. Dia hanya baru tahu beberapa hal saja tentangnya. Namun, pertanyaan Salman seolah membuat hatinya bercampur bingung. Ada perasaan lain yang menyeruak masuk ke dalam hatinya. Perasaan yang seolah mengatakan bahwa dia ingin merasakan arti 'bahagia' berumah tangga. Namun, itu semua butuh proses, karena baginya Halim adalah seseorang yang masih terasa asing dihatinya, yang masih harus membutuhkan waktu untuk menumbuhkan rasa cinta terhadapnya.
Ah, itu mustahil untuk sekarang. Gumam Anna
Salman masih menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Anna.
"Aku bahagia"
Dahi Salman berkerut. Melihat Anna yang tidak menatap kearahnya membuatnya merasa Anna seperti berbohong padanya.
"Baiklah kalau begitu. Melihat penampilanmu juga, aku merasa kau bahagia menikah dengan Halim"
Salman menaiki kudanya. "Tapi aku ingin memohon padamu satu hal, Anna"
Anna mendongak menatap Salman yang telah berada di atas kudanya.
"Tolong katakan padaku jika Halim menyakitimu, aku akan segera datang dan membawamu pergi"
Wajah Salman mendongak ke lantai atas rumah. Disitu, dilihatnya Halim tengah berdiri mengamatinya dan Anna. "Aku pergi, Anna"
Dipacunya kuda miliknya pergi meninggalkan rumah Halim. Rumah yang menurutnya tidak terlalu besar di banding dengan rumah Rambangnya yang ada di desa Sumut.
Setelah kepergian Salman, terdengar kaki Halim menuruni satu per satu anak tangga. Pandangannya tertuju pada kuda miliknya yang terikat di salah satu tiang rumahnya.
"Aku akan ke desa Sumut hari ini" tuturnya saat melewati Anna.
"Aku ikut denganmu"
Langkah kaki Halim terhenti, dia menoleh pada Anna. "Kau sebaiknya di rumah bersama bang Malik."
"Tidak, aku ikut denganmu" protes Anna yang sudah melihat Halim duduk di atas pelana kudanya.
"Apa dengan menjadi istriku tidak cukup membuatmu betah di rumah?"
Kali ini Anna terdiam. Wajahnya sedikit menyiratkan kekecewaan. Halim yang melihat itu nampaknya berusaha untuk menemukan kata-katanya yang lain. "Aku akan menyuruh bang Malik menyiapkanmu kuda"
"Kau bercanda?" Anna sedikit tertawa.
Halim berdehem. Tatapannya dipalingkan dari Anna.
"Aku tidak bisa membawa kuda dengan bawahanku seperti ini"
Diamatinya Halim rok bawahan Anna. Rok yang terlihat begitu ketat ditubuhnya.
"Aku akan naik denganmu." Anna mengambil kursi pendek untuk menjangkau pelana kudanya Halim.
Melihat sikap Anna, Halim sedikit berkutat. Wajahnya melihat Anna yang tengah menunggu uluran tangannya.
Beberapa saat, Halim tampak mengulurkan tangannya pada Anna, menarik tubuhnya naik ke atas pelana kudanya.
Ah, benar-benar nyaman duduk di atas kuda dengan Halim. Batin Anna setelah dia duduk menyamping di depannya Halim.
Bau wangi tubuh Halim tercium. Bau yang menurutnya lebih wangi dari wangi apapun yang pernah diciumnya. Tangan lembut Halim terasa memegangi pinggangnya, dagunya terasa menempel dirambutnya. Hati Anna berdegup.
Sial bisiknya
Halim tampak menyadari Anna yang terlihat duduk tidak nyaman didepannya. "Ada apa?, apa kau tidak nyaman?"
Anna menggeleng. "Tidak"
"Apa kau merasa baru pertama kali ini naik kuda denganku?"
Ucapan Halim membuat Anna menyadari bahwa Halim sepertinya membaca ketidaknyamannya itu.
"T-tidak" balasnya dengan cepat.
Wajah Halim tampak menyunggingkan senyum yang tipis. Dengan segera dia memacu kuda miliknya keluar dari halaman rumah. Bersamaan dengan itu, terdengar suara batin Anna yang berbisik,
"apakah ini benar-benar keputusanku yang tepat untuk mengenal Halim lebih dekat?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Anna - Istriku yang Buta dan Sakit Jiwa
RomansaBagaimana rasanya memiliki seorang istri yang buta dan sakit jiwa? begitulah nasib yang harus di rasakan oleh Halim Zainudin. Seorang pemuda berasal dari desa Kuban yang menikahi Anna Manika di tahun 1950. Pernikahan itu awalnya didasari oleh motif...