Ada sesuatu berbeda yang Halim rasakan pada dirinya. Sesuatu yang menurutnya telah berubah dari apa yang sebelumnya dia sering lakukan pada Anna, yaitu sikap ketidakpeduliannya. Dia mengingat lagi kejadian di danau saat bersama Anna. Satu ucapan yang ia lontarkan padanya, apa kau baik-baik saja?
Ah, rasanya memikirkan itu bahkan membuatnya terus kepikiran. Apa itu tandanya dia mulai peduli dengan perempuan itu?. Perempuan yang bahkan belum sempat ia jamah di malam pertamanya sebagai istrinya.
Setelah kejadian tadi pagi di danau, Halim dan Anna kini telah berada di rumah Rambang. Rumah yang pertama kali Halim datangi untuk mempersunting Anna.
Di rumah ini ada beberapa kamar yang ditempati oleh para pemangku adat. Ada juga ruang tamu dengan kursi rotan, ruang tengah tempat mereka melakukan musyawarah, dan juga dapur utama yang sering di pakai para mamak menanak nasi dan keperluan dapur lainnya.
Di dapur itu, Anna membantu mak Ise memasak untuk makan malam Halim dan para tetua lainnya. Di ruang tengah, sudah duduk datuk Sutan dan Halim yang menyeruput kopi panas. Kopi itu sedikit mengepulkan asapnya.
"Baru kali ini kau mengajak Anna datang ke desa Sumut" ujar datuk Sutan membuka obrolannya dengan Halim.
Halim menyeruput kopinya sebentar."Dia ingin ikut denganku"
"Apa selama ini dia selalu bersikap seperti itu padamu?"
"Tidak, baru kali ini" jawab Halim sebelum menyeruput kopinya lagi.
Wajah datuk Sutan sedikit berubah oleh rasa pahit kopinya. Dia berdehem, memastikan suaranya agar tidak terdengar serak.
"Dulu saat Anna masih kecil, dia adalah anak yang begitu ceria. Kemanapun orang tuanya pergi, dia ingin selalu ikut mereka" katanya sembari melihat Anna yang tengah membantu mak Ise di dapur. "Tapi itu tepat setelah kedua orang tuanya dibunuh di depan matanya sendiri. Dia mulai berubah"
Datuk Sutan menarik nafasnya cukup dalam. Dia kemudian melanjutkan lagi kata-katanya. "Di usia Anna yang remaja, dia mulai berlatih pedang. Waktu itu bisa dibilang, seluruh waktunya dia habiskan untuk kemampuan itu. Sampai kami dan para tetua lainnya mengangkat Anna menjadi satu-satunya prajurit wanita desa Sumut"
Wajah Halim tampak berpikir. Dia baru tau bahwa Anna dulunya adalah seorang anak yatim piatu. Lebih dari itu, dia berpikir bagaimana mungkin orang tuanya dibunuh di depan mata kepalanya sendiri. Terlebih, usianya waktu itu masih terbilang kecil.
Datuk Sutan mengamati wajah Halim. Dia tau persis lelaki yang duduk di hadapannya saat ini tengah berpikir.
"Apa yang kau pikirkan, Halim?" tanyanya
Halim memalingkan tatapannya yang sedari tadi menatap Anna di dapur. "Kenapa orang tua Anna dibunuh?"
Datuk Sutan menyeruput kopinya. Expresi wajahnya seperti sudah tau Halim akan menanyakan pertanyaan itu. "Ceritanya cukup panjang, Halim. Tapi waktu itu Anna berhasil kami selamatkan. Kami membawa dia ke desa Sumut"
Beberapa saat setelahnya, Anna dan mak Ise sudah datang membawa bakul nasi yang terbuat dari bambu serta nampan kayu. Nampan itu isinya sayuran mentah yang sudah direbus, tempe dan tahu, serta telur asin. Tidak lupa di atasnya juga ada sambal yang diolah dari cabe rawit hijau. Di atas nampan itu juga ada beberapa olahan kue yang dibuat dari ketan yang dihaluskan dan dibentuk layaknya persegi.
Entah sejak kapan ruang tengah itu mulai hening saat Anna dan mak Ise datang. Terdengar suara Mak Ise mencoba memecah keheningan itu. "Apa setelah ini kalian berdua akan berangkat pulang kedesa Kuban?"
"Sepertinya begitu" jawab Halim singkat.
"Kenapa?" tanya Anna melihat Halim. "Apa kau tidak ingin menginap semalam di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Anna - Istriku yang Buta dan Sakit Jiwa
RomanceBagaimana rasanya memiliki seorang istri yang buta dan sakit jiwa? begitulah nasib yang harus di rasakan oleh Halim Zainudin. Seorang pemuda berasal dari desa Kuban yang menikahi Anna Manika di tahun 1950. Pernikahan itu awalnya didasari oleh motif...