27. Perempuan di bangku taman

42 4 0
                                    

Secangkir teh melati hangat di letakkan Achmad di atas meja. Seperti biasanya, Achmad sudah menutup toko rotinya ketika jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit malam. Dua orang karyawan tokonya sudah pulang. Tersisalah dirinya dan Halim yang masih berada di toko rotinya.

Halim menyeruput teh melati hangatnya, melihat ke arah jam di dinding. Sudah larut.

Achmad keluar dari dalam dapurnya membawa sepiring kue basah. Dia meletakkannya di samping cangkir teh melati milik Halim. Ditariknya kursi yang berada di depan lelaki itu.

"Apa paman benar-benar tidak salah membaca nama lengkapnya?"

Halim menggeleng. "Dia berkata penampilanku mirip dengan kakeknya, dia bahkan sangat mengingat bau parfumnya"

"Apa?"

Halim menyeruput teh melatinya lagi. Wajahnya kini menatap Achmad. Lelaki dihadapannya itu seperti tampak berpikir.

"Jadi itu alasan paman ingin berusaha melindunginya?" tanya Achmad menyimpulkan apa yang ada di pikirannya."Hanya karena paman menduga dia adalah cucu paman?"

Meskipun benar apa yang di tanyakan Achmad padanya, Halim tak dapat meresponnya. Entah kenapa bibirnya seperti terkunci. Pandangannya kini menelisik jauh pada beberapa foto lama yang terpajang di dinding. Sejak pertama kali dia mengenal dan berbincang dengan Achmad, dia lupa bertanya tentang Aedy. Sosok temannya dulu yang pernah menyapanya.

"Bagaimana dengan kabar Aedy?"

Pandangan Achmad tiba-tiba menunduk, seolah
membuka kesedihannya yang lama. "Bapak saya sudah lama meninggal"

Halim memperhatikan kesedihan yang mulai tampak di wajah Achmad. "Maafkan aku"

Menepis raut sedihnya, Achmad tersenyum tipis. "Tidak apa-apa"

"Bagaimana dengan Hester?"

"Dia sudah kembali ke kotanya di Belanda tepat setelah setahun kematian bapak. Dia juga sudah punya keluarganya yang baru"

Seakan tak percaya dengan apa yang dia dengar, Halim kembali memandang foto lama yang terpajang di dinding. Bisa dibilang, Aedy merupakan sosok temannya yang telah menikahi wanita berketurunan Belanda bernama Hester. Dihari ketika dirinya bersama Anna menghadiri pesta Aedy di desa Kuban, membuatnya nampak berpikir seolah olah hari itu baru saja terjadi kemarin. Sulit dipercaya dia menerima kabar tentang apa yang telah menimpa keduanya di masa kini.

"Bagaimana dengan kabar bibi Anna?" Achmad bertanya balik pada Halim, mengalihkan fokus lelaki itu menatap beberapa foto lama di dinding.  "Apa paman sudah menemukan informasi tentangnya?"

Halim tak tahu harus berkata apa pada Achmad. Saat ini dia belum bisa menemukan informasi apapun tentang keberadaan Anna. Baginya keberadaan Anna di kota ini adalah hal yang masih terdengar mustahil untuknya saat ini. Dia bahkan tak tahu bagaimana caranya dia menemukan informasi tentangnya.

Achmad seperti bisa membaca gelagat Halim. Expresi wajahnya tampak tak dapat memberikan jawaban apapun dari pertanyaannya. Senyum mengulas di wajah Achmad. Tangannya menepuk bahu Halim. "Paman jangan khawatir, saya akan membantu paman mencari bibi Anna"

Sementara di sisi yang lain, Michelle tak ada ubahnya mengganti posisi tidurnya. Matanya tak dapat terpejam. Kata kata Halim di basement membuat tidurnya malam ini sedikit terganggu. Otaknya tak berhenti keras memikirkan kata kata lelaki itu.  Saya ingin selalu bisa melindungimu.
Bagaimana mungkin kata kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Apa dia sadar dengan apa yang dia ucapkan.

Michelle membuka gagang pintu depan rumahnya. Sudah larut, akan tetapi dia belum menjumpai kehadiran Halim di rumahnya sama sekali. Lagi lagi lelaki itu pulang hingga larut malam. Bukan bermaksud ingin menunggunya, tetapi dia hanya penasaran kenapa lelaki itu terkadang pulang di jam yang larut setiap malam. Mungkin di lain waktu dia perlu untuk membuntutinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Anna - Istriku yang Buta dan Sakit JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang