Halim tak akan pernah lupa tempat itu. Danau itu. Rintik hujan yang terasa. Jembatan yang pernah dia lewati. Rasanya ada sesuatu yang terus mengenangnya tentang hal hal kecil itu. Beberapa hal telah membuatnya berubah. Entah dia sadari atau tidak, sikapnya seolah menunjukkan hal hal yang sering bertolak belakang dengan apa yang sering dia ucapkan. Dari mulai dia menerima ucapan bang Malik kepadanya tentang sikapnya yang telah berubah, ucapan Mansur kepadanya tentang perasaan yang dimilikinya pada Anna, bahkan semua hal yang dia sendiri tak dapat menjelaskannya.
Sejenak kudanya berhenti tepat di jembatan yang dia lalui, memandang ke arah danau dibawahnya, ke arah perahu di tepinya yang pernah ia naiki dulu. Terdengar nafasnya yang dihela. Mungkin ini sudah saatnya melupakan semua hal yang telah terjadi di hidupnya. Sejak pertama kalinya dia berjumpa dengan Anna, menikahinya di hadapan para pemangku adat agar bisa membalaskan dendam adiknya, hari hari yang telah banyak dilaluinya saat perempuan itu telah menjadi istrinya, serta hari hari yang dilaluinya saat perempuan itu telah dilepasnya.
Tangan Halim tiba tiba bertumpu pada kayu jembatan. Kepalanya berdenyut hebat. Wajahnya menahan sakit. Sejak dia meninggalkan rumahnya untuk datang ke rumah Rambang, tubuhnya benar benar terasa lemas. Dia bahkan tak menghiraukan ucapan bang Malik yang berulang kali merasa cemas terhadapnya. Tangannya memegang kain yang terikat dikepalanya. Nampak bercak darah di sana. Perlahan lahan pandangannya mulai kabur lalu berubah menjadi gelap.
Beberapa saat kemudian, dia terbangun dan mendapati dirinya telah berada di kamar kecilnya. Tangannya dipegang lembut oleh seorang perempuan yang tengah duduk di sampingnya.
"Halim"
Halim membuka matanya. Terlihat perempuan itu bersanggul dengan kerudung putih yang dikenakannya, di wajahnya nampak terdapat keriput keriput halus, bibirnya menyunggingkan senyum sesaat setelah melihatnya membuka matanya.
"Kau sudah sadar?" tanya perempuan itu.
Perempuan itu tidak datang sendirian. Dibelakangnya berdiri seorang lelaki paruh baya dengan ikat kepalanya. Wajahnya mengamati Halim dengan rautnya yang begitu khawatir. Halim tau siapa kedua sosok yang berada dihadapannya itu. Mereka berdua tidak lain adalah datuk Jamil dan Mak Enang.
"Kami sudah dengar apa yang terjadi padamu, Halim"
"Aku baik baik saja," ucap Halim seraya menarik tangannya dari mak Enang. Dia mengatur posisinya untuk duduk."Kalian tidak perlu datang kemari"
"Kami berdua datang kemari karena khawatir padamu. Kami sudah dengar apa yang terjadi padamu dan Anna"
Halim mengamati wajah mak Enang dan datuk Jamil secara bergantian. Dua pasang wajah yang menurutnya begitu lekat dengan ingatan masa kecilnya itu.
"Kami juga khawatir dengan apa yang sudah terjadi pada Anna"
Tiba-tiba Halim mulai tampak menahan rasa sakitnya. Bibirnya meringis kesakitan. Tangannya memegangi kepalanya yang terbalut dengan kain.
"Halim" ucap mak Enang penuh kekhawatiran. Dia kemudian berdiri hendak beranjak dari tempatnya. "Aku akan memanggil datuk itu datang kemari"
Seketika Halim langsung menahan salah satu tangan mak Enang. "Tidak perlu"
"Apa?"
"Aku ingin kalian tetap disini"
Mendadak mak Enang kembali terduduk. Nafasnya terdengar dihela. Matanya tampak menahan air mata yang perlahan mulai ingin jatuh di pipinya. "Apa kau akan terus berusaha menahan rasa sakitmu?"
"Aku akan baik baik saja"
Bibir Halim tampak berusaha mengulas senyum. Seolah ingin menenangkan keadaan hati yang saat ini tengah mak Enang rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anna - Istriku yang Buta dan Sakit Jiwa
RomanceBagaimana rasanya memiliki seorang istri yang buta dan sakit jiwa? begitulah nasib yang harus di rasakan oleh Halim Zainudin. Seorang pemuda berasal dari desa Kuban yang menikahi Anna Manika di tahun 1950. Pernikahan itu awalnya didasari oleh motif...