26. Lelaki di basement

57 5 0
                                    

Sosok tentang diri Halim membuat Michelle bertanya tanya pada dirinya. Apa sudah tepat keputusannya mengizinkan Halim untuk tinggal dirumahnya. Mengingat Halim adalah satu satunya lelaki yang kehadirannya masih terlihat begitu asing dirumahnya. Bagaimana jika suatu hari nanti dia mengetahui fakta lain tentang diri Halim yang tak dia ketahui. Pertanyaan itu terus saja menggelayut di kepalanya.

Michelle terhenti mengetik pada keyboard laptopnya. Jam di dinding ruangan tengahnya menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit malam.

"Jam segini kok dia belum pulang" lirihnya

Gadis itu kemudian membuka pintu gerbang kayu rumahnya. Menunggu nunggu bilamana ada kepulangan Halim dari jalanan gang menuju rumahnya.  "Apa sebaiknya aku buat peraturan tertulis saja di rumah ini?"

Michelle melemparkan pandangannya pada sisi kiri kanan jalanan gang itu. Jalanan yang tampak basah oleh rintik hujan yang telah reda. Tangannya dilipat didada. Dia merapatkan cardigan panjang yang menutupi piyamanya. Tak sadar dia pun mulai berjongkok di depan pintu gerbangnya. Kedua tangannya kini bertumpu pada kedua lutut.

Terdengar suara langkah kaki seseorang yang kemudian berhenti tepat didepannya. Michelle mendongkak.

"Apa kamu menunggu saya?"

"Ah, enggak" seketika gadis itu bangkit berdiri saat menyadari suara itu adalah milik Halim. "Gue cuma lagi nyari udara segar aja"

Halim mengamati Michelle yang tampak membuang wajahnya ke sembarang arah.

"Lo sendiri dari mana?, kok jam segini lo baru baru pulang?"

"Saya ..."

"Denger ya Lim, gue izinin lo tinggal di rumah gue bukan artinya lo bisa seenaknya pulang sampe larut malem, lo pikir..."

Belum selesai Michelle melengkapi kalimatnya, Halim tiba tiba meraih salah satu tangannya lalu memberikannya beberapa ratus uang.

"Ini apa?" Michelle mengamati uang yang diberikan Halim.

"Itu uang sewa saya selama sebulan"

Terjadi jeda selama beberapa detik. Michelle lalu mulai menghitung satu persatu lembar ratus uang yang diberikan Halim di tangannya. Dia melirik ke wajah Halim. "Lo dapet uang ini darimana?"

"Saya baru mendapatkan pekerjaan"

Wajah Michelle tiba-tiba langsung berubah. Dia melipat beberapa lembar uang tersebut dan memasukkannya pada saku cardigan miliknya. "Bagus deh kalo kayak gitu"

Halim melenggang masuk ke dalam rumah. Langkah kakinya diikuti Michelle dari belakang.

"Gue tarik lagi kata kata gue yang tadi deh, Lim. Lo bisa kok pulang sampe larut malem. Kalo perlu lo juga bisa gak pulang semaleman. Gak masalah sih buat gue"

Halim tiba tiba terhenti berjalan dan berbalik menghadap Michelle. Seketika gadis itu pun menghentikan langkah kaki di belakangnya. Dia menatap lekat wajah Halim, berusaha menebak nebak apa yang akan dikatakannya.

"Apa kamu sudah makan?"

"Hah?" respon Michelle terdengar sedikit tercengang dengan pertanyaan yang keluar dari mulutnya.

Halim menyodorkan tas yang di dalamnya berisi roti pada Michelle. "Ini bonus saya setelah seharian saya bekerja. Saya bekerja di salah satu toko roti yang berada di sekitar sini, dan uang yang saya berikan tadi adalah gaji dimuka saya selama sebulan"

Michelle tak dapat berkutip apapun lagi mendengar pernyataan Halim. Lelaki itu kemudian membuka pintu rumah lalu masuk ke dalamnya. Michelle masih mengikutinya sebelum akhirnya Halim masuk ke kamarnya dan menutup pintunya. Gadis itu berdiri terpaku di depan pintu kamarnya. Tangannya nampak berusaha ingin mengetuk, akan tetapi dia berusaha mengurungkan niatnya. Dia menatap tas berisi roti yang diberikan Halim. Bibirnya tersenyum tipis lalu beranjak dari depan kamarnya.

Anna - Istriku yang Buta dan Sakit JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang