Halim ingat perasaan yang pernah dia miliki dulu. Perasaannya kala meminang seorang wanita dari desa seberang. Perasaan yang membangkitkan egonya untuk berani mempersuntingnya di hadapan para pemangku adat hanya karena dia ingin membalaskan dendam atas kematian adiknya, Hasyim. Namun seiring berjalannya waktu, ego itu perlahan menghilang, berganti dengan kehadiran wanita itu yang hari hari biasa mengisi hidupnya. Dia bahkan tak begitu yakin apa kini perasaannya itu sudah benar-benar berubah.
Beberapa hari setelah kejadian atas pembunuhan Anna, Halim kini tak sadarkan diri. Dia kehilangan kesadarannya tepat setelah dia merasakan sakit yang begitu hebat pada kepalanya di malam itu. Malam yang telah membuatnya berada pada putus asa terbesarnya. Saat itu dia tak begitu yakin atas penglihatan yang dia punya, tapi dia benar benar melihat Anna terlindas oleh kereta api di depannya. Setelahnya, dia sudah tak mengingat apapun lagi. Dia sadar setelah mendengar sebuah suara yang menyebut namanya dari balik kejauhan.
"Saya akan mengutus seseorang untuk menjemput datuk jika Halim sudah sadar." Suara itu kemudian menghilang.
Halim mengangkat badannya yang terasa berat. Suaranya terdengar menahan sakit.
"Halim, kau sudah sadar?" suara Bang Malik terdengar menghampirinya.
Halim membuka setengah sarung yang menutupi badannya. Dengan kepala yang terasa berat, dia mulai berdiri. Namun, mendadak tubuhnya kembali lemah dan hampir kehilangan keseimbangannya.
"Halim"
Halim berusaha melepas rangkulan tangan bang Malik. Dia mencoba dengan sekuat tenaganya untuk berjalan.
"Kau mau kemana?"
"Aku ingin mencari Anna"
Halim berjalan dengan langkah kakinya yang sempoyongan. Sebisa mungkin bang Malik berusaha untuk menahan langkahnya. "Apa kau tidak ingin bertanya padaku sudah berapa hari kau tidak sadarkan diri?"
Seketika Halim terhenti berjalan. Dia menoleh pada Bang Malik.
"Kau sudah tidak sadarkan diri selama tiga hari, Halim"
Wajah Halim langsung berubah kaget. Pandangannya diarahkan pada luar jendela. Selepas kejadian malam itu, dia yakin bahwa dirinya sudah tidak sadarkan diri setelahnya. Namun, dia tak begitu yakin apa memang selama ini dia tak sadarkan diri selama tiga hari.
"Kau bahkan tidak memikirkan dirimu saat ini tapi malah memikirkan Anna. Keluarganya bahkan tidak ada satupun yang bertanya tentangmu"
"Mereka tidak punya alasan untuk bertanya tentangku" Halim kini menarik nafasnya. "Karena aku bukan siapa siapa lagi di keluarga mereka"
"Lalu untuk apa kau pergi mencari Anna?"
Halim terdiam sesaat lalu berkata, "aku khawatir"
Bang Malik seperti ingin menahan apa yang ingin dikatakannya pada Halim. Dia melihat sikap Halim yang seolah seperti berubah. Raut wajahnya benar-benar tak ada yang tengah dia sembunyikan. "Jika kau begitu khawatir pada Anna, lalu kenapa kau sendiri melepasnya, Halim?"
Pertanyaan itu tiba tiba menusuk relung jantung Halim. Sebuah pertanyaan yang terlepas begitu saja dari bibir bang Malik. Sebuah pertanyaan yang bahkan dia sendiri tidak ingin dengar.
"Kau tidak biasanya bersikap seperti ini, Halim. Kau bahkan tidak pernah memikirkan orang lain sebelum dirimu sendiri. Apa selama ini ada sesuatu yang telah membuatmu berubah?"
Halim mulai bergerak maju meninggalkannya, akan tetapi buru buru bang Malik kembali menahan langkahnya, "katakan padaku satu hal, Halim"
Halim menoleh kebelakang, menatap figur lelaki berkulit sawo matang itu. "Apa kau mulai berubah karena Anna?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Anna - Istriku yang Buta dan Sakit Jiwa
RomanceBagaimana rasanya memiliki seorang istri yang buta dan sakit jiwa? begitulah nasib yang harus di rasakan oleh Halim Zainudin. Seorang pemuda berasal dari desa Kuban yang menikahi Anna Manika di tahun 1950. Pernikahan itu awalnya didasari oleh motif...