Sepulang kerja, Michelle mencari taxi menuju RSJ tempat mamanya bekerja. Dia sudah meminta izin pada bu Wirna agar mengizinkannya untuk belum bisa ikut bergabung bersama anak anak kantor lainnya. Bu Wirna tidak masalah dengan ketidakhadiran Michelle, hanya yang menjadi masalah adalah anak anak kantor.
"Ah, gak seru nih gak ada Michelle. Padahal hari ini kita bakal habisin 20 porsi sate mang Parto"
"Emang Michelle kenapa?"
"Katanya ada urusan mendadak, jadi dia gak bisa gabung bareng kita"
"Emang gak bisa ditunda urusannya?"
"Gak tau deh"
Sebagai orang yang tidak pernah absen berkumpul, Michelle tau warung mang Parto selalu menjadi tempat langganan utama mereka. Setiap merayakan produk penjualan mereka yang berhasil mencapai target, warung mang Parto lah yang akan selalu dijadikan target sasaran untuk merayakan keberhasilan. Terkadang mereka juga mentraktir semua orang yang makan di warung itu dan pulang hingga larut malam.
Seulas senyum menghias di bibir Michelle saat tengah membaca satu per satu obrolan grup yang muncul di layar handphonenya itu. Dia kemudian mematikan layarnya saat taxinya telah berhenti tepat di depan sebuah gedung besar RSJ.
Michelle melongos masuk ke dalamnya. Matanya bergerak mencari cari keberadaan mamanya. Sesaat dia terhenti ketika melihat mamanya nampak berbicara serius dengan beberapa orang perawat di tengah tengah lorong ruangan inap.
"Ma ...."
Kedua mata mamanya bergerak melihat Michelle yang mulai datang menghampirinya. "Kamu sudah datang, sayang?"
"Dimana perempuan itu, ma?"
"Mama sudah menyuruh perawat memindahkannya ke ruangan yang lain"
"Apa ada kabar baik?"
Terdengar nafas mamanya yang dihela. Tangannya lalu memegangi pergelangan tangan Michelle. "Ikut mama"
Perempuan itu memandunya untuk mengikutinya. Derap kaki keduanya terdengar berjalan menyusuri lorong panjang dengan beberapa pintu ruangan yang berjejer di sisi kiri kanan. Mereka lalu terhenti pada sebuah ruangan paling ujung dari lorong itu. Sebuah pintu bercat putih yang memiliki kaca ditengahnya. Terlihat didalamnya seorang perempuan yang tengah disuapi makanan oleh seorang perawat.
Beberapa saat keduanya tampak mengamati perempuan itu lewat kaca pintunya. Hingga terdengar mamanya mulai bersuara, "tadinya mama sedikit kesulitan untuk ajak dia bicara"
"Terus?"
"Tapi dia sudah mau bicara sedikit dengan mama"
Tatapan keduanya masih terus mengamati perempuan itu dari balik kaca pintu. "Namanya Anna"
"Anna?"
Mamanya mengangguk. "Dia tinggal di desa Sumut. Dia mengalami sejenis trauma di masa lalunya. Ada ketakutan terbesar yang sampai saat ini masih belum bisa dia hadapi. Itu menjadi penyebab gangguan jiwanya"
"Trauma apa?"
"Dia mengalami ketakutan saat ibunya dibunuh sejak dia kecil. Kemungkinan waktu itu dia juga sempat mengalami gangguan jiwa tapi bisa sembuh. Dia mungkin mengalaminya lagi karena ada faktor pemicunya"
KAMU SEDANG MEMBACA
Anna - Istriku yang Buta dan Sakit Jiwa
RomanceBagaimana rasanya memiliki seorang istri yang buta dan sakit jiwa? begitulah nasib yang harus di rasakan oleh Halim Zainudin. Seorang pemuda berasal dari desa Kuban yang menikahi Anna Manika di tahun 1950. Pernikahan itu awalnya didasari oleh motif...