Halim memasuki sebuah gang kecil yang sedikit menurun. Di sisi kiri kanan gang itu berderet pagar rumah dengan beberapa tanaman bonsai. Di depannya berjalan gadis mungil yang tadi menarik tangannya sembari menenteng beberapa tas belanjaan.
Sesaat gadis itu berhenti berjalan. Dia berbalik menghadap Halim. "Kita udah nyampe"
Halim mengedarkan pandangannya pada rumah yang berada di sisi kanannya. Sebuah rumah minimalis modern berbahan kayu. Di depannya terdapat pekarangan kecil dengan rumput jepang dan beberapa pot bunga kertas.
"Dengar ya Lim, gue gak ada maksud lain buat ngebawa lo ke tempat ini"
Sesaat Michelle menunduk, berusaha menemukan kata katanya yang pas. "Gue udah tau semuanya"
"Tau apa?"
"Kalo lo ternyata orang yang gak punya identitas sama sekali"
Halim masih tampak diam tak menjawab perkataan Michelle.
"Gue gak bermaksud apa apa nih, tapi gue cuma mau nanya, kok lo bisa sih gak punya identitas apapun?"
"Saya sudah bilang, nama saya Halim dan saya tinggal di desa Kuban"
"Maksud gue ini" Michelle memperlihatkan kartu tanda penduduknya pada Halim.
"Itu ...." Halim mengamati dengan seksama KTP yang diperlihatkan Michelle. "Saya tidak punya"
"Trus lo kenapa bisa ada di kota ini? apa yang sebenarnya lo cari di kota ini?"
"Itu juga saya tidak tahu"
Jawaban yang sama Michelle dengar dari mulut Halim. Expresinya heran tak percaya mendengar jawaban yang sama berulang kali darinya. Dia menghela nafasnya, menatap rumah di samping kirinya lalu memandang wajah Halim.
"Ya udah gini deh, anggep aja gue bermurah hati mau bantuin lo. Lo bisa tinggal di rumah gue buat sementara waktu sampe lo udah bisa nemu apa yang lo cari di kota ini. Gimana?"
Halim masih tampak diam sembari mengamati rumah disisi kanannya.
"Diam berarti setuju, ya"
Michelle menaruh tas belanjaannya lalu merogoh sesuatu dari dalam tas kantornya. Dia kemudian terhenti. "Tapi lo juga gak gratis tinggal di rumah gue. Sampe lo udah bisa nemu apa yang lo cari di kota ini, lo harus bisa bayar sewa tempat tinggal ke gue per bulannya. Setuju?"
"Baiklah" ujar Halim setuju
Michelle memalingkan wajahnya dari Halim lalu tersenyum miring membuka kunci gerbangnya. Setidaknya dia bisa mendapatkan sedikit keuntungan kecil dari balik kehadiran Halim menempati rumahnya.
Beberapa saat, pintu rumahnya terbuka. Michelle menyalakan lampu lalu melepas alas kakinya. Dia berjalan menuju dapur dan membuka pintu kulkasnya. Matanya kemudian mengamati Halim yang berjalan memperhatikan setiap sudut rumahnya. Lelaki itu tampak terhenti pada sebuah foto di atas meja rias ruang tengah.
"Itu foto keluarga gue"
Michelle meneguk sebotol air lalu berjalan menghampirinya. "Ayah gue dekan di kampus gue. Tapi saat ini dia lagi ditugasin sama rektornya ke luar daerah, kalo mama gue salah satu dokter spesialis jiwa di RSJ Yoanda"
Michelle memandangi wajahnya, tangan kiri gadis itu bertumpu pada permukaan meja di sebelahnya. Lelaki itu masih tampak memperhatikan foto keluarga miliknya, wajahnya tak berhenti mencerna satu persatu informasi yang dia dengar dari mulut Michelle.
"Kamar lo disitu" Michelle menunjuk salah satu kamar yang bersebelahan dengan dinding ruang tamu. "Trus itu juga ada beberapa baju yang bisa lo pake"
KAMU SEDANG MEMBACA
Anna - Istriku yang Buta dan Sakit Jiwa
Roman d'amourBagaimana rasanya memiliki seorang istri yang buta dan sakit jiwa? begitulah nasib yang harus di rasakan oleh Halim Zainudin. Seorang pemuda berasal dari desa Kuban yang menikahi Anna Manika di tahun 1950. Pernikahan itu awalnya didasari oleh motif...