Felix tidak sadar kalau dia menutup pintu rumahnya begitu keras. Hingga membuat kaca jendela bergetar saking kencangnya dia menutup pintu. Tapi dia seolah tidak peduli, bahkan omelan Ayah atau Ibunya tidak terbesit di benaknya ketika Felix melakukan itu.
Kepalanya panas. Napasnya naik-turun tidak beraturan, serta wajahnya memerah seolah Felix tidak lagi bisa untuk menahan segalanya lagi.
Keduanya masih berada di depan pintu rumah. Belum ada niatan untuk beranjak dari posisinya sekarang. Jisung tidak berani menatap kembarannya itu tepat di mata detik itu juga, sedari tadi dirinya menunduk menghindari tatapan Felix yang memang menakutkan. Dia beruntung karena tadi bukan Felix yang membawa mobil, bisa Jisung pastikan kalau tadi kembarannya yang membawa mobil, pasti Felix akan membawanya dengan kecepatan yang diatas rata-rata.
Ngeri, Jisung spontan merinding ketika hanya membayangkannya saja.
Keduanya tidak sadar kalau akibat perbuatan Felix barusan, Ayah serta Bundanya spontan berlari dari belakang rumahnya karena mendengar suara pintu yang di tutup dengan sangat tidak manusiawi itu.
"Felix."
"No." Felix mengangkat kedua lengannya di hadapan Jisung. Seolah memberitahu kembarannya itu agar tidak dulu mengatakan apapun padanya.
Dan Jisung menurutinya. Dia membiarkan Felix diam untuk beberapa detik lamanya guna meredamkan amarahnya yang dia yakin bisa meledak kapan saja kalau dirinya salah berbicara sedikit pun.
Jisung yakin kalau Felix tahu perihal kejadian dirinya tadi bersama Minho. Dimana Jisung yang dengan sengaja mengibarkan bendera perang pada kakak tingkatnya itu, yang sudah Felix wanti-wanti dari jauh agar tidak berurusan apapun dengannya. Namun Jisung malah mengabaikannya.
Lebih memilih untuk meladeni kakak tingkatnya itu dengan keadaan tubuhnya yang masih tertukar dengan Felix. Jisung tahu kalau dia salah di sini, tapi entah kenapa egonya malah mengatakan untuk melawan Minho meskipun tahu kalau reputasi pemuda itu jauh dari kata baik.
Jisung bukan tipikal orang yang suka berhadapan dengan sebuah masalah bersama siapapun itu yang di rasanya tidak akan menguntungkannya. Cenderung lebih menghindarinya ketimbang meladeninya. Tapi dengan Minho --Jisung merasa kalau dia harus melawan pemuda itu, tidak peduli dengan hasilnya dia harus melawan pemuda arogan itu.
Pertemuan pertama mereka yang jauh dari kata baik sepertinya menjadi pemicunya. Jisung merasa egonya terluka ketika harus mengalah dari kakak tingkatnya yang satu ini.
"Jisung."
Panggilan dari Felix membuat Jisung kembali ke alam sadarnya. Dia mendongak sedikit untuk melirik kembarannya melalui ujung matanya yang tertutup poni kelabunya. Memastikan kalau wajah itu sudah berubah menjadi lunak --yang nyatanya masih sama kerasnya seperti tadi.
"Gue nyadar sama apa yang gue lakuin tadi." Ujar Jisung pelan. Kedua tangannya saling bertaut gugup di depan perutnya sendiri.
"Trus kenapa lo masih lakuin itu?"
Jisung seketika mengangkat kepalanya. "Harga diri, Arusha Felix." Tatapannya serius ketika mengatakan itu.
"Harga diri gue atau harga diri Arasha Jisung yang lagi kita omongin di sini, hah?" Nada bicara Felix naik tanpa dirinya sendiri sadari.
Bersamaan dengan orang tuanya yang sampai di ruang depan. Melihat bagaimana kedua anak kembarnya yang saling bertatapan penuh emosi seolah bisa membunuh satu sama lain hanya dengan tatapan saja. Bundanya melarang sang kepala keluarga untuk melerai keduanya, seperti sengaja memberikan waktu untuk dua anak kembarnya itu berbicara.
Jujur, ini pertama kalinya mereka bertengkar hebat seperti ini.
"Harga diri lo. Kalo gue gak ladenin kating itu, bisa aja lo di cap lemah sama mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
switch [jilix] +changlix;minsung
FanfictionHanya karena permintaan mereka berdua, semesta membuat keduanya jungkir balik, hingga merasakan pahit manisnya dunia. Hey, it's changlix and minsung. wanna see?