O13. A Ruptured Walls

971 182 14
                                    

Jisung tidak langsung turun ketika mobilnya berhenti tepat di depan pintu garasi rumahnya. Dia memilih untuk diam sementara di dalam mobil --yang sebenarnya milik Felix itu. Memainkan jemarinya gusar diatas kemudi sebelum akhirnya sebuah ketukan yang berasal dari kaca di sampingnya membuatnya sedikit tersentak kaget.

Yang begitu menoleh, Jisung bisa menemukan Ayahnya berdiri tepat di luar samping mobilnya. Berdiri dengan menampilkan raut wajah yang tidak bisa Jisung baca.

Jisung berpikir, kalau Ayah atau Bundanya itu pasti sudah mengetahui persoalan keduanya yang kini tertukar. Mengingat kemarin ketika dia bertengkar dengan kembarannya itu, Jisung bisa melihat bagaimana raut sedih juga prihatin dari sang Bunda. Di sampingnya pun ada Ayahnya, namun beliau tidak banyak memperlihatkan ekspresinya mengingat beliau yang hanya diam terpaku dan berlari menyusulnya ketika Jisung memilih pergi.

Dan sekarang Jisung tidak tahu harus menghadapi Ayahnya bagaimana. Harus menjelaskan darimana pun, Jisung tidak tahu. Meskipun dia yakin kalau Felix sudah sempat memberitahu keduanya mengingat tidak mungkin lagi untuk menyembunyikannya setelah pertengkaran kemarin.

Tuk! Tuk!

Ketukan yang berasal dari kaca di sampingnya dapat Jisung dengar lagi yang membuatnya keluar dari lamunan sejenaknya. Dia mengedip beberapa kali sebelum menoleh kembali pada Ayahnya itu.

"Jiji, turun."

Panggilan itu. Panggilan yang tidak pernah Jisung dengar lagi sejak usianya menginjak empatbelas.

Perasaannya sedikit menghangat ketika Ayahnya memanggilnya lagi dengan sebutan seperti itu. Dengan agak serampangan, Jisung menyambar barang-barang miliknya yang dia letakan di jok penumpang.

Tidak mau untuk membuat Ayahnya semakin menunggu. Jisung rasa, menjadi anak penurut untuk sekarang adalah hal yang tepat bagi keselamatannya. Meskipun dia yakin, kalau Ayahnya tidak akan melakukan sesuatu yang bisa menghukumnya.

"Yah," panggil Jisung begitu pelan ketika dirinya sudah keluar dari mobil.

Dia bahkan tidak berani untuk mendongak sekedar menatap manik yang berwarna sama dengan miliknya itu. Jisung terus menunduk, setelah menekan tombol lock pada kunci mobilnya pun dia hanya tetap memandangi ujung sepatu yang di kenakannya itu.

"Hey. Ayah gak akan marahin kamu, Ji. Ayah udah tau semuanya dari Felix." Usapan halus mendarat diatas puncak kepala Jisung. Ayahnya mengusap surai abu itu dengan begitu sayang. "Tapi jangan pernah ngomong kaya kemaren lagi, semuanya bukan salah kamu. Kamu lahir karena emang Ayah dan Bunda pengen kamu ada, Jiji."

"Aku gagal jadi Kakak yang bisa Felix andelin."

"Hey, don't say that." Kedua tangan Ayahnya mendarat di kedua pundak Jisung. Sedikit menarik tubuh itu agar sedikit lebih dekat lagi dengannya. "Kamu gak gagal, kita semua bisa tetep jadi yang terbaik di kemudian hari, Ji. Kamu berhasil jadi Kakak yang baik buat Felix, dengan cara kamu bela diri di depan kakak tingkat kamu yang sombong itu, biar dia gak sengak lagi."

Perkataan itu sukses membuat Jisung mendongakan pandangannya. Memandangi wajah Ayahnya yang kini tersenyum begitu lembut juga pengertian baginya. Sebelah tangan Ayahhnya kembali naik keatas puncak kepalanya, mengusap begitu sayang surai abu Jisung yang mencuat kesegala arah.

"Tapi, aku yang nantang dia duluan ..."

"Gak apa-apa." Ayahnya segera menarik tubuh anaknya itu agar masuk kedalam dekapan hangatnya. Memeluknya penuh kasih sayang hingga tanpa sadar membuat Jisung berkaca-kaca hampir menangis di bahu sang Ayah. "Harus ada orang yang berani biar dia gak besar kepala terus."

Jisung tidak menjawab apapun. Namun kedua tangan yang meremat kuat sisian baju yang di kenakannya itu cukup membuat Ayahnya paham dengan keadaan anak sulungnya kini.

switch [jilix] +changlix;minsungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang