Perlahan namun pasti, Jisung mengerti kenapa semesta membuatnya tertukar dengan tubuh kembarannya. Permintaannya tempo lalu di klenteng terasa masuk akal dengan semua rentetan kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.
Sungguh, Jisung menyadari kalau permintaannya itu bisa terbilang klasik. Juga sulit di waktu yang bersamaan. Mengingat waktu dimana dirinya masih berada di tubuhnya sendiri, Jisung sadar kalau dia selalu mengabaikan berbagai macam emosi yang di rasanya detik itu juga.
Jisung jarang menangis, tertawa, apalagi merasa kesal. Dia selalu berpikiran kalau meluapkan segalanya pun tidak akan membuat hidupnya berubah seketika. Yang maka dari itu, Jisung memilih untuk mengabaikan semuanya sampai dia tidak menyadari kalau hatinya sudah lama mati karena itu.
Selalu berakhir dengan perkataan 'yaudahlah' yang terlalu sering membuat Jisung tidak lagi merasakan euforia berarti dalam sukmanya. Hidupnya monoton, juga salah satu alasan kenapa Jisung jarang berbicara dengan Ayahnya adalah karena dia merasa sebagai anak pertama harus berdiri tegap tanpa celah agar selalu bisa orang-orang andalkan, terutama bagi adiknya. Jisung tanpa sadar menerapkan standar yang terlalu tinggi untuknya sendiri, mengabaikan semua tentang dirinya karena terlalu memikirkan pandangan orang lain yang membuatnya di tuntut untuk selalu menampikan sisi terbaiknya.
Tidak peduli walaupun jiwa dalam dirinya sudah hancur lebur, Jisung tetap berdiri tegap dengan senyum lebarnya seolah mengatakan pada dunia kalau dia berhasil melewati semuanya. Mengabaikan segala perasaan kopongnya yang tidak mungkin orang-orang pedulikan.
Adalah alasan kenapa Jisung meminta permintaan tersebut. Sedikitnya, Jisung hanya ingin merasa hatinya hidup kembali meskipun dengan segala hal kecil.
Jisung merasa perubahan besar pada dirinya setelah bertukar tubuh dengan kembarannya itu. Dari mulai hubungannya yang mulai membaik bersama sang Ayah, juga Jisung yang tidak lagi abai untuk mengutamakan perasannya lebih dulu meskipun itu hanya secuil.
Dia merasa hidup. Setelah sekian lama merasa kosong karena tidak terlalu memikirkan bagaimana keadaanya sendiri. Jisung merasa berterimakasih meskipun harus melalui berbagai macam drama kehidupan yang membuatnya tidak merasa mati lagi.
"Heh." Langkah Jisung otomatis terhenti ketika laju kakinya di hadang oleh dua orang asing yang tidak di kenalinya.
Salah satunya berbadan besar dengan potongan rambut cepak serta tindik di telinganya. Satunya lagi berbadan tinggi serta rambut gondrongnya yang tanpa sadar membuat Jisung melangkah mundur dari hadapan dua orang tadi.
Aih, Jisung mengumpat pelan ketika menyadari kalau dirinya tidak bisa melarikan diri dari dua orang tersebut. Dia agak sedikit menyesal menolak tawaran Changbin untuk keluar kelas bersamanya tadi, dengan alasan Jisung yang perlu melakukan hal lain dulu sebelum akhirnya menyusul Felix di gedung fakultas adiknya itu.
Sekarang keadaannya terpojok. Padahal hanya tinggal satu lantai lagi hingga Jisung sampai di koridor utama gedung itu. Namun harus tertahan karena hadangan dari dua orang asing yang tidak Jisung ketahui alasannya apa.
"Kenapa ya, Kak?" Jisung meremat tali tasnya ketika salah satu dari dua orang tadi mendekat kearahnya. Berusaha untuk tetap berdiri tegap dengan wajah tanpa ekspresinya meskipun kini tangannya yang meremat tali tasnya bergetar bukan main.
"Lo Felix itu, 'kan? Felix yang nantangin Minho waktu itu?" Kernyitan semakin dalam di keningnya. Jisung merasa mulai ada yang tidak beres ketika dua orang di hadapannya mulai membawa nama kakak tingkat menyebalkan itu.
"Kenapa, Kak?"
Salah satu pemuda dengan rambut gondrongnya sedikit merunduk untuk menyesuaikan dengan tingginya sekarang. Yang secara tidak langsung seolah tengah mengejeknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
switch [jilix] +changlix;minsung
FanfictionHanya karena permintaan mereka berdua, semesta membuat keduanya jungkir balik, hingga merasakan pahit manisnya dunia. Hey, it's changlix and minsung. wanna see?