❄' 𝙻𝚞𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚎𝚖𝚘𝚜𝚒.¹⁵

62 13 0
                                    

༺𝐻𝒶𝓅𝓅𝓎 ❆ 𝑅𝑒𝒶𝒹𝒾𝓃𝑔༻

"Ice kumohon." Solar memohon agar Ice mengatakan semua rahasia yang ia sembunyikan darinya. "Tidak Solar," tolak Ice. Ia berusaha untuk berjalan keluar dan meninggalkan Solar. Namun, langkahnya dihadang oleh Solar.

"Ayolah, aku hanya ingin membantumu." Solar masih mencoba untuk membujuk sahabatnya. "Aku hargai itu, tapi maaf aku tidak bisa," tolak Ice secara halus. Ia menghargai usaha sahabatnya untuk membantu dirinya. Namun, tetap saja Ice masih punya rahasia yang harus ia jaga.

"Setidaknya beritahu aku apa alasan mereka membully mu." Solar mencoba mengutarakan pendapatnya, berharap orang yang berada didepannya mau mengatakan semuanya. "Bukankah sudah cukup jelas untukmu?"

"I-iya tapi–" Solar mencekal tangan Ice. Namun, sayangnya Ice berhasil menepisnya. "Kalau begitu sudah bukan?" Ice kembali melanjutkan langkahnya.

"Lalu apakah tidak mencoba melawan mereka?" ucapan Solar sukses membuat Ice terhenti. Ekor mata milik Ice melirik kearah Solar. "Dengar, mereka terutama 'dia' menjadikanmu sebagai tempat pelampiasan mereka!"

Ice sedikit tersentak dengan penuturan Solar. "Lalu apakah tak mencoba melawan atau membela diri!?" Solar melanjutkan pendapatnya.

"Bagaimana bisa kau tahu tentang semua itu, sedangkan aku sendiri saja tidak tahu alasan lain mereka selain kejadian waktu lalu?" tanya Ice curiga. Kini giliran Solar yang terdiam. "A-aku..."

"Sekarang jawab aku, apa kau menyamar saat hari itu dan menanyakan semua pada 'dia'?!" Ice melempar tuduhan kearah Solar, ia berjalan mendekat dan menatap lekat lekat manik silver yang terlindungi oleh lensa kacamata.

Solar meneguk savilanya. "Jadi kau yang membuat seolah aku yang menantangnya lalu kejadian tangga itu terjadi?!" bentak Ice. "Tapi aku tak bermaksud seperti itu ...." Solar berusaha membela diri.

Ice menghela nafasnya. Niat Solar sebenarnya baik, tapi itu malah membuatnya makin sengsara. "Aku tahu, setelah kejadian ini, kumohon jangan ikut campur urusanku." Ice meinggalkan Solar.

Solar menghela nafas. Ia tau Ice itu keras kepala dan sangat tertutup. "Setidaknya bicarakan tentang ini semua pada orangtuamu," ucap Solar. Ice manatap kearah Solar lalu sesegera mungkin membuang muka.

"Ingat, konverensi yang kita hadiri masalah bullying?" Solar bersuara lagi, mengharap ia mendapat sahutan jawaban dari Ice. "..."

"Speaking up dengan orang tuamu," Solar berusaha membujuk Ice, "kau tidak ingin, menderita terus terusan 'kan?" Ice terhenti, kata-kata Solar membuatnya tertegun. Ia menggeleng pelan. "Tidak ...." Solar tersenyum. "Maka dari itu bicarakan ini dengan orangtua mu."

"Tapi–" Ice berusaha membantah Solar, akan tetapi ucapannya sudah terlebih dahulu dipotong. "Tidak ada tapi-tapian, Ice. Aku akan mendampingimu nanti, jika kau perlu!" ucap Solar tegas.

"Tapi, Lar–" Lagi-lagi ucapan Ice terpotong. "Nggak, kamu tidak boleh mengelak. Jika tidak segera kau bicarakan ini semua akan terus berlangsung."

"Lar dengerin dulu!" Ice masih berusaha mengemukakan alasan untuk membantah ucapan Solar. "Apa kau masih mau diganggu terus oleh mereka?!" Solar meninggikan suaranya.

"Tapi semua itu akan sia-sia, sudah terlambat untuk melakukannya!" Ice hilang kendali. Tanpa ia sadari matanya berkaca kaca. "Sejak kejadian itu mereka sudah tidak peduli apapun mengenaiku!" Air mata Ice lolos. Ia hilang kendali.

"I–ice?" Solar menatap kearah Ice dengan tatapan seolah olah tak percaya. "Semuanya sudah terlambat ...."

Grep!

❄✧.*𝔇𝔯𝔢𝔞𝔪 .*✧❄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang