❄'𝙺𝚎𝚑𝚒𝚕𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗.²⁷

58 9 0
                                    

༺𝐻𝒶𝓅𝓅𝓎 ❆ 𝑅𝑒𝒶𝒹𝒾𝓃𝑔༻

"Ini Ice, pelan-pelan saja." Solar menyerahkan segelas air mineral kepada Ice. Kondisinya jauh dari kata baik-baik saja. Walau masih terlihat mendingan dari kondisinya kemarin. Ice menerimanya. "Terimakasih."

Selesai meminum air digelas itu tadi, ia menaruhnya di meja yang ada disebelahnya. "Maaf jika harus jadi seperti ini," ujarnya dengan penuh rasa bersalah. Usai kejadian kemarin, Ice tak sadarkan diri. Dokter bilang mungkin ini karena syok, tapi itu malah diperburuk dengan kondisi badannya yang ikut drop.

Ice dibawa ke rumah Solar. Ia tidak bisa dirawat inap karena hanya pingsan. Namun, jika dibawa ke rumahnya bisa jadi gawat. Apalagi kondisi orangtuanya yang masih kalut. "Aku tidak apa kan disini terlebih dahulu?"

"Tidak apa, tapi kemarin kau tidak ikut prosesi pemakaman," lirih Solar. Ice hanya tersenyum kecut. "Tidak apa-apa, aku memang adik yang buruk." Kemarin adalah prosesi pemakaman Blaze. Ia tidak dapat hadir dengan kondisinya yang seperti itu.

"Maaf, Kak Thorn," ujar Ice. "Eh, untuk apa?" tanya Thorn bingung. Seingatnya Ice tidak memilik salah apa-apa padanya. "Aku menghilangkan temanmu."

"Ah sudahlah, tidak apa-apa. Ini semua adalah takdir, kita sama sekali tidak berhak mengganggu-gugatnya," jelas Thorn bijak. Ice mengangguk. Baru kali ini yang ada yang mengatakannya begitu. "Tapi mereka-"

"Jangan pikirkan itu dulu untuk sementara waktu. Kondisimu drop Ice, jangan paksakan dirimu," sargah Solar. Yang dilarang hanya diam, menatap ke arahnya sembari tersenyum. "Tidak apa, agar aku bisa menyusulnya."

Deg!

Tatapannya kosong, senyumnya rapuh. Tolong anak ini, mentalnya sudah terganggu. "Ice! Apa yang sudah kukatakan soal itu!" bentak Solar. Ini bukan pertama kalinya. Semenjak Ice sadar ia sudah mengatakannya.

Ice yang kembali sadar lantas terdiam. "Maaf ... aku hanya- entahlah. Tuhan lebih menyayangi kakak dibandingkan aku." Solar menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Jika kau menyerah sampai sini maka semua pengorbanannya sia-sia!"

Manik silver milinya berkaca-kaca. Dibalik kacamata itu Ice masih bisa melihatnya dengan jelas. "Hahaha, iya-iya. Jangan pasang wajah seperti itu lagi."

Grep!

Solar memeluk erat Ice. "Ku mohon, bertahanlah. Untuknya dan juga untuk kami." Ice membalas pelukannya. Hangat, sudah lama ia tak merasakan pelukan penuh arti seperti ini.

"A-akan sebisa mungkin kutepati."

༺❆༻

"Darimana saja? Sekarang baru ingat rumah!" bentak Mrs Flare begitu mendapati putrinya memasuki rumah. "Dokter menyuruhku memulihkan kondisi, jika berada di sini maka bisa-bisa aku ikut menyusulnya," ujarnya cuek. Haih seharusnya ia berada di rumah Solar lebih lama lagi. Tempat ini sepenuhnya berubah menjadi 'neraka'.

"Baguslah kalau begitu, kami tidak perlu repot mengurusimu," balas Mrs Flare tidak peduli. "Oh begitu kah? Lalu dengan begitu kalian akan menyia-nyiakan hidup kakak." Ice mengatakan itu dengan raut wajah tidak peduli di depan mereka.

"Sialan, siapa kau berani berkata seperti itu?!" Mrs Flare berusaha melemparkan barang yang ada disekitarnya. Namun, Ice sempat menghindar sebelum benda itu mengenai kepalanya.

"Aku benar kan? Mungkin kalian kecewa, mengapa bukan aku yang pergi. Sehingga kalian akan tinggal dengannya, anak kesayangan kalian," ujar Ice yang berusaha membungkam perkataan dari orangtuanya.

"Asal kau tahu, andaikata bukan kakakmu yang menyuruh kami mengurusmu, kami tak akan sudi menganggapmu sebagai anak!" bentak Mrs Flare habis-habisan. Emosinya sudah diujung tanduk, tapi mengapa anak itu masih bisa bersikap begitu santainya?!

❄✧.*𝔇𝔯𝔢𝔞𝔪 .*✧❄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang