❄' 𝚂𝚒𝚖𝚙𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚒𝚞𝚛.²⁴

58 12 2
                                    

༺𝐻𝒶𝓅𝓅𝓎 ❆ 𝑅𝑒𝒶𝒹𝒾𝓃𝑔༻

"Lagi? Ugh kau mendapat nilai sembilan puluh lagi saat ulangan harian Sains. Sangat mengecewakan padahal ini adalah salah satu dari pelajaran yang sering kau pelajari." Itulah kata-kata yang terlontar dari Mama saat aku memberikan kertas hasil ulangan harian ku. Aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Lagi dan lagi.

Aku menunduk karena merasa takut. "Maafkan Ice, Ma. Ice sudah berusaha keras, karena saat itu guru tidak menjelaskan terlalu banyak tentang hal ini." Aku berucap semakin lirih disetiap kata. Periode ini yang ku benci dari setiap pergantian pelajaran perbulannya. Kecuali jika nilai ku benar-benar 'sempurna' maka aku tak akan mengalami ini.

Namun, mau bagaimanapun tingkat kesempurnaan milik mereka lebih tinggi dari pada milikku. "Tetap saja, guru hanya menjelaskan ulang semua materi dari buku yang tidak kau baca!" Mama mengagetkanku karena nada bicaranya yang tiba tiba saja berubah setingkat lebih tinggi. Aku tersentak hingga hampir terjungkal.

Deru nafasnya terdengar dengan jelas, yang kemudian diikuti oleh desah. "Kembali ke kamarmu, belajar lebih giat berhenti membuat kami malu." Bersamaan dengan itu ia memberikan kembali kertas hasil ulangan harianku. Aku mengambilnya tanpa berucap sepatah katapun.

Aku berjalan menuju kamarku. Mama benar benar tidak menghargai jerih payahku untuk mendapatkan nilai tersebut. "Contohlah kakakmu yang bisa selalu membuat kami bangga, tidak sepertimu." Langkahku terhenti, tubuhku seakan akan membeku disaat itu juga. Diam membatu, sebuah kata menusuk tajam dihatiku.

Mataku memanas, berharap bendungan air mata tidak jebol saat itu juga. Aku kembali melangkahkan kakiku. Masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintu. Aku terduduk didepan pintu persis. Air mataku mengalir, bendungan kaca itu benar benar tak kuat menahannya sekarang.

Aku ingin membantah, tapi aku juga tak ingin durhaka. Lalu perjuanganku untuk mendapat dua medali perak itu mereka anggap apa? Angin yang berlalu? Mereka kira segampang itukah mendapat medali perak? Sempurna dan sempurna. Aku lelah.

Mereka selalu menghargai semua prestasi kakak sekecil apapun itu. Mengapresiasi prestasi itu dengan riang. Sedangkan aku? Baru akan diapresiasi jika sudah melewati standart 'sempurna' milik mereka.

Dunia ini memang tidak adil. Anak yang dilahirkan dari rahim yang sama bisa memiliki kehidupan yang jauh berbeda.

Aku menenggelamkan kepalaku kedalam lipatan tangan. Saat aku kembali mengangkat kepala ada sesuatu yang janggal. Tubuhku bertambah tinggi dari sebelumnya. Ada sebuah boneka. Tunggu sesuatu memasuki pikiranku.

Itu hadiah dari kakak. Sweater yang kukenakan ini dari nenek. Lalu jam tangan ini juga pemberian kakek. Ada perban dikepalaku ini? Tunggu dulu perban?

Aku bergegas menuju cermin untuk melihatnya. Dan benar saja ada perban yang melilit kepalaku. Aku bertanya-tanya kenapa lagi ini? "Akh!" Aku menjerit kesakitan. Ada sesuatu yang membuatk kepalaku terasa sakit. Aku berlutut sambil memegang kepalaku dengan erat.

"Ada apa- Ice?!!!" Pintu terbuka bersamaan dengan terdengarnya suara itu. Aku tak dapat menoleh, jangankan menoleh tidak kulakukan pun rasanya sudah sangat sakit. Aku dapat merasakan jika ada seseorang mendekat.

"Tunggu sebentar ya, Ice!" ucapnya. "Nek! Kepala Ice sakit lagi!!"

Dengan segera terdengar derap langkah menaiki tangga. "Tuntun dia ke tembat tidurnya, Blaze." Kakak membantuku berjalan menuju tempat tidur. Setelahnya, aku berbaring dan Nenek memberikan beberapa pill obat padaku.

"Minum ini, Ice. Obat ini memang sudah waktunya kau konsumsi." Aku mengangguk lalu meminum pill itu, dan segera menegak segelas air dari tangan kakak. "Benturan itu sangat keras, Ice. Kenapa kau bisa terjatuh dari tangga?"

❄✧.*𝔇𝔯𝔢𝔞𝔪 .*✧❄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang