03

2.4K 86 0
                                    

KETUKAN heels yang bertalu dengan lantai marmer sebuah rumah besar berlantai dia dengan gaya Eropa klasik itu menyadarkan seseorang yang tengah duduk di sofa. Wanita setengah baya yang tengah bertelefonan itu menoleh.

"Eh, bentar dulu ya jeng. Itu Bella udah pulang." Ujarnya pada lawan bicara di telefon yang dia pegang.

"Bella." Bella menoleh ke arah Mamanya dengan tidak minat. Ia berjalan dengan lesu menaiki tangga. Hari ii cukup melelahkan. Apa lagi ia baru saja di marahi habis-habisan oleh bosnya tadi di kantor.

"Bella! Kamu durhaka banget, Mama panggil enggak nyahut," geram Nessa yang mulai kesal dengan anaknya. Lantas ia mengambil bantal sofa dan melemparnya kearah Bella.

Bella menghela nafas lelah. Berbalik menatap Mamanya yang duduk di sofa. "Ada apa sih, Ma? Mama gak lihat gitu putri Mama yang cantik, bahenol ini capek?"

Nessa bodo amat dengan Bella yang kelelahan. Berulang kali Nessa menyuruh Bella untuk menikah agar Bella enak tinggal duduk di rumah sambil menerima uang dari suami. Tapi Bella saja yang mengeyel.

"Mama udah buat keputusan, nih. Mama udah punya calon buat kamu,"

Bella menyipitkan matanya. "Hah, terserah Mama, deh. Bella pusing." Bella kembali berbalik dan melanjutkan jalannya.

Nessa terkikik, ia menempelkan ponselnya kembali ke telinganya. "Umurnya berapa, jeng?"

Bella berhenti saat sang Mama kembali bertelefonan dengan seseorang dari seberang telefon. Bella penasaran dengan umur seseorang yang akan di jodohkan dengannya. Bella menajamkah pendengarannya, sayang sekali suara dari ponsel itu tak sampai di telinganya. Tapi suara Nessa mengejutkannya hingga rasanya membuat jantung Bella ingin copot.

"Oh, enam puluh? Udah mateng banget itu, jeng, hehehe."

Bella melebarkan matanya sampai membuat kedua bola matanya akan keluar. "Gila, aku mau dijodohin sama kakek-kakek?" gumam Bella.

"Oke, jeng. Sampai ketemu kapan-kapan, ya." Sambungan ponsel terputus.

Bella berjalan cepat menuruni tangga menghampiri Mamanya yang tengah membolak-balik halaman majalah setelah ponselnya, beliau letakkan di atas meja.

"Ma!" Nessa melirik sekilas. Lalu pandangannya kembali fokus pada gambar yang menampilkan tas-tas bermerek.
"Ma, tadi Bella denger ya, Mama ngomong sama jeng jeng siapa itu!" cerocos Bella.

"Terus?" kedua netra Nessa tetap fokus pada majjalah yang di pangkunya.

"Ma! Jangan bilang kalau orang yang mau dijodohin sama Bella itu umurnya empat puluh tahun," tebak Bella. Ia menyipitkan matanya sengit." Tadi Bella denger ya Mama ngomong sama jeng-jeng itu, empat puluh tahun-empat puluh tahun. Jangan-jangan itu umur cowok yang mau dijodohin sama Bella ya?"

Nessa mengulum senyumnya. Ia tersenyum geli. "Emang kenapa?"

Bella melebarkan matanya. "Ma, Mama yang bener aja. Masa Bella mau dijodohin sama kakek-kakek? Yang bener aja. Bahkan sama Mama aja masih tuaan tuh kakek."

"Dari pada kamu jadi perawan tua?"

Bella tak habis dengan pikiran Mamanya. Yang benar saja dirinya akan dinikahkan dengan om-om. Bella bergidik ngeri membayangkan ia di unboxing oleh om-om itu. Ya walau pun Bella tidak tahu rupa wajahnya. Tapi, Bella membayangkan kakek-kakek kurus, kering, bungkuk, rambut putih dipenuhi uban, jenggot panjag berwarna putih. Membayangkannya membuat bulu kuduk Bella meremang.

"Ma, Bella masih dua puluh delapan tahun. Itu masih muda, Ma. Belum tua!"

Nessa mencebikkan bibirnya. Matanya kembali terfokus pada majalahnya. Tangannya membuka halaman demi halaman. "Tapi, temen-temen kamu loh udah pada punya anak semua."

FORCED TO MARRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang