07

2.8K 74 8
                                    

Hari yang di tunggu-tunggu pun tiba. Hari yang mengukir sejarah terpenting dalam hidup manusia. Hari di mana seseorang melepas masa lajangnya dan mulai hidup berdampingan selamanya. Di mana semua di jalani dengan pasangan. Tidur jadi tidak sendirian.

Bella ngeri membayangkan hidupnya setelah menikah. Apalagi menikah dengan seseorang yang bukan pilihannya. Ini benar-benar mimpi buruk bagi Bella.

"Saya terima nikah dan kawinnya Bella Laudiafani Emeralda dengan mas kawin tersebut, tunai."

Suara lantunan ijab khabul terdengar begitu merdu di telinga semua orang. Dengan satu tarikan napas, Rian mengucapkan ijab Khabul begitu lantang dan lancar. Semua orang mengucap syukur saat Rian selesai mengucapkan ijab Khabul.

Kini seorang Bella Laudiafani Emeralda seorang perempuan pekerja keras. Cita-citanya adalah membahagiakan kedua orang tuanya. Perempuan cantik yang kini berusia dua puluh lima tahun itu masih sudah menjadi istri orang.

Bella tidak pernah menyangka kalau di umurnya yang ke dua puluh lima tahun ini dirinya sudah menikah. Padahal Bella memiliki cita-cita untuk menikah saat dirinya menginjak umur tiga puluh tahun.

Baginya pernikahan adalah bencana, rumah tangga adalah masalah. Bella tidak pernah bosan mengulangi kalimat itu. Menikah itu bencana, menikah itu bencana. Bangun pagi, menyiapkan makanan, belum lagi jika punya anak. Kalau anaknya rewel, nangis terus, mesti gantiin popok. Oh, sungguh Bella tidak siap. Hidup sendiri tanpa pasangan saja menyenangkan, mengapa harus punya pasangan? Itu yang ada di dalam pikiran Bella

"Rian sudah selesai ijab Khabul," Amber masuk ke dalam kamar Bella. Perempuan yang memakai kebaya khas bridesmaid itu menatap Bella yang begitu cantik dengan kebaya pengantin berwarna putih yang pas di tubuh ramping Bella.

Bella menatap dirinya sendiri di pantulan kaca. Bella masih tidak menyangka dirinya kini sudah menyandang nyonya Aldavidson. Pernikahan itu adalah masalah, dan menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak di cintainya itu lebih masalah.

"Sayang, Bella," Nessa menyentuh pundak putrinya. Bella mendongak menatap Nessa dengan tersenyum tipis.

"Ayo turun, Rian udah selesai ijab Khabul," Nessa mengelus pundak putrinya. Berucap dengan lembut. Tumben sekali, biasanya wanita jika berbicara dengan Bella ngegas tak lupa juga kata-katanya pedas.

"Bella nikah ya, Ma?" tanya Bella masih tidak percaya.

"Tapi Bella enggak mau nikah, Ma. Bella takut," Nessa menghela napasnya pelan. Ia harus meyakinkan anaknya.

"Bella. Semua orang itu pasti akan menikah setelah mereka dewasa. Begitu juga pun dengan kamu."

"Tapi, setelah menikah, Bella pasti akan pergi ikut suami kemana pun suami Bella pergi. Bella enggak mau mah, Bella mau di sini aja sama Mama sama Papa."

Nessa memegang kedua pundak Bella. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya. "Kapan saja kamu mau, kamu boleh main ke sini. Bagi Mama, kamu tetap putri Mama. Putri kecil Mama. Tidak ada seseorang pun yang bisa memutuskan tali ikatan seorang Ibu dengan anaknya,"

Bella menangis. Air matanya berhasil membasahi pipi mulusnya. Di sana Amber berdiri, menatap dua insan itu. Amber mendongakkan matanya, mencoba agar air matanya tidak turun. Ia rindu Ibunya yang sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu bersama ayahnya karena kecelakaan pesawat. Nessa juga sudah menganggap Amber seperti anaknya sendiri. Hal itu membuat Amber makin bersalah karena tidak bisa menjadi anak yang baik. Apalagi di acara pernikahannya dia tidak mengundang keluarga Bella sama sekali.

"Jangan nangis dong. Mata kamu hitam tuh," Dengan cepat Bella menghalus air matanya, dan kembali menatap dirinya di cermin. Bisa malu kalau di tatap para tamu nanti. Pengantin kok dandannya hancur gara-gara menangis

FORCED TO MARRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang