7. Selesai dengan Sebenarnya

43 12 5
                                    

Di dorong oleh rasa malu yang sudah berada di ubun-ubun Shaula melepar negitu saja buku yang ia baca ke wajah Bara setelahnya meninggalkan cowok itu. Dia benar-benar sudah tak punya muka, baik di hadapan Bara maupun di hadapan pengunjung toko buku yang lainnya.

Tanpa pikir panjang dia langsung lari sekencangnya keluar dari dalam mal, demi apa pun semoga dia tak pernah lagi bertemu dengan Bara, sial sekali rasanya.

Sampai di parkiran Shaula kebingungan harus pulang naik apa, dia langsung mengeluarkan ponselnya untuk memesan ojek online. Namun belum sempat membuka aplikasi seseorang menarik tangannya.

“Pulang bareng gue aja.”

“Lepasin!” Shaula memberontak karena itu Bara.

Pelipis cowok itu tampak berdarah.

“Kening lo...”

“Kena sudut buku.”

Keduanya sedikit lebih tenang sekarang.

“Maafin gue.”

“Pulang bareng gue, gue maafin.” Dan ini saat yang tepat untuk membuat penawaran, Shaula pasti akan sangat merasa bersalah kalau sampai menolak.

Shaula terdiam, dia menelisik penampilan Bara, hari ini tak terlalu aneh, cowok itu masih mengenakan seragam sekolah, hanya saja kancingnya memang sudah dilepas semua.

“Gue bakal cium lo kalau udah dapet izin.”

Apa dia harus percaya?

“Lagian kita naik motor, gimana mau cium-ciuman, mulut gue di depan, lo di belakang.”

Shaula tetap menatap sangsi, bagaimanapun Bara adalah sosok yang maju paling depan kalau ada tawuran.

“Ya Allah.”

“Oke.”

Senyum sumringah langsung merekah.

“Yuk.” Dan tanpa tedeng aling-aling Bara menarik tangan Shaula, menariknya menuju parkiran motor di mana motor Bara terparkir. Shaula menatap tangannya, anehnya dia mati kutu sekarang, berbagai kalimat ingin ia keluarga tapi seperti tertahan di ujung lidah.

Bara memasangkan helm ke kepala Shaula. “Lo aja yang pakai helm, seneng banget gue akhirnya ngebonceng lo, gue nggak mau lo kenapa-napa.”

Begonya saat itu Shaula hanya mengangguk, benar-benar seperti terhipnotis, bahkan dia sudah tak lagi memikirkan bagaimana jika dia bertemu dengan temannya di jalan?

Dengan sendirinya bahkan Shaula naik ke atas motor Bara, memegang pinggang cowok itu lalu membiarkan tubuhnya dibawa dengan motor.

“Jangan diem aja.”

“Nggak tau mau ngomong apa.”

“Lo cantik banget ternyata kalau dari deket.” Selalu terdengar sangat serius, tapi Shaula juga takut untuk cepat percaya, Bara adalah profesional tampaknya bukan hanya Shaula yang ia puji cantik.

“Lo buaya banget ternyata aslinya.”

“HAHAHA!!” Untuk pertama kalinya akhirnya Shaula mendengar suara membahana itu, renyah juga ternyata.

Bara geleng-geleng kepala. “Emangnya apa sih yang bikin lo nilai kalau gue ini buaya banget?”

“Lancar banget tuh mulut ngegodain cewek.”

Lagi-lagi Bara tertawa mendengar itu. “Tapi kamu emang cantik sih, kayaknya suatu saat pengen punya anak yang mirip kamu.”

***

Setelah pertemuan itu hubungan pertemanan mereka akhirnya menjadi lebih baik, tak sama seperti sebelumnya, Bara sudah lebih sopan dan sangat hati-hati saat berbicara atau mengetikkan sesuatu. Shaula juga mulai menerima, Bara telah melakukan sesuatu yang sangat niat, tak mungkin juga Shaula terus-terusan jual mahal.

Pagi ini Shaula sudah rapi dengan seragam sekolah karena akan berangkat ke sekolah. Dia menunggu sudah hampir dua puluh menit namun Arsen tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Ke mana cowok itu? Ah Shaula lupa, padahal dia sendiri yang memutuskan untuk putus dari cowok itu.

Menguatkan tekat dia memegang kedua tali tasnya lantas berjalan untuk mencari ojek saja. Konyol, sebelum putus saja Arsen tak pernah memikirkannya, apalagi setelah putus, pasti dia semakin tak peduli.

Sampai di sekolah Shaula langsung masuk ke dalam kelas, dia sempat melihat dari jauh kalau Arsen sudah ada di lapangan bola, mungkin kalau dia masih pacar cowok itu Shaula akan mengomel karena ini masih pagi. Tapi kini bahkan dia tak berhak. Shaula menggelengkan kepalanya, dia harus berhenti memikirkan Arsen, ada banyak hal yang harus ia lakukan, dia harus melupakan semua hal tentang Arsen.

***

Jam istirahat pertama, Shaula sengaja menghabiskan waktu sendirian, dia membeli camilan di kantin setelahnya duduk sendirian di bawah pohon di taman sekolah. Percuma berkumpul dengan teman-temannya karena pasti bahasannya juga soal Arsen.

Seseorang meletakkan yogurt di sebelahnya, Shaula menoleh dan orang itu Arsen. Cowok itu mendudukkan diri di sebelahnya.

“Lo selalu mencolok di mata gue,” ujarnya.

Shaula hanya diam dan tetap memasukkan makanan ke dalam mulutnya, dia sedang tak ingin bertengkar, lagipula semua orang pasti masih mengira bahwa mereka memiliki hubungan.

Arsen tertawa. “Karena emang lo cewek unik makanya gue suka.”

Shaula masih tetap diam, berusaha hanya fokus pada makanannya.

“Kita harus selesai baik-baik.”

Barulah Shaula menoleh, ini di luar ekspektasinya, dia menatap Arsen, semula dia kira laki-laki itu ingin membujuknya untuk kembali bersama, tapi ternyata dia juga ingin selesai.

“Kita memulai semuanya baik-baik, jadi menurut gue ini semua juga harus selesai baik-baik. Ya mungkin gue banyak salah, jadi gue minta maaf.” Arsen menoleh mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Shaula menatap tangan itu, untuk sebuah perpisahan rasanya lebih baik mereka saling memaki, justru kalau caranya baik-baik begini dia akan susah melupakan cowok itu, ini akan sulit untuk dirinya sendiri. Semuanya baik-baik saja tapi mereka harus berpisah, menggelikan sekali.

“Gue emang bego, nggak pernah bisa mengekspresikan perasaan gue sendiri, jadi lo mungkin perlu menemukan orang lain yang jauh lebih baik dari gue.”

Shaula menelan ludahnya sendiri, apa bisa? Dia sudah menanamkan dalam benaknya bahwa yang terbaik adalah cowok di hadapannya.
Shaula membalas jabat tangan Arsen, bukan untuk setuju bahwa semuanya sudah berakhir, tapi bahkan untuk yang terakhir kalinya dia tak siap jika harus mengabaikan cowok itu.

Arsen menarik sudut bibirnya.

“Makasih untuk semuanya.”

“Gue benci banget kalimat itu, karena kalau terima kasih beriringan dengan untuk semuanya, biasanya orang itu akan mulai melangkah pergi.”

Arsen tertawa. “Tapi kalau nggak pergi, kita hanya akan saling menyakiti.”

Shaula mengangguk setuju, sudah tak ada lagi, semuanya sudah selesai. Keduanya akahirnya benar-benar berpisah karena bel tanda istirahat telah berakhir sudah berdering.


***

Hiruk-pikuk dunia seolah memaksanya untuk tetap menjalani hidup sebagaimana mestinya, namun dengan sekuat tenaga gadis itu menolak, dia tetap memilih menyendiri di setiap sudut sepi. Tak boleh, dia hanya harus memahami segala rasiknya sendirian, tak akan ada yang mau mengerti karena memang hanya dia sendiri yang mengerti.

Menyandarkan kepalanya ke jendela Shaula menatap kendaraan yang berlalu-lalang di luar sana, ternyata hanya dia yang sedang tak baik-baik saja. Dunia masih sama seperti sebelumnya, dia yang harus peduli dengan dirinya sendiri.

Dering ponsel menyadarkannya.

“Di mana?” Sekarang selalu seperti itu tanpa basa-basi.

Shaula menghela napas. “Taksi.”

“Kenapa?”

“Ya gue mau pulang.”

“Seharusnya tinggal bilang biar gue jemput, nggak usah naik taksi.”

“Gue bisa sendiri.” Dengan Arsen saja dia jarang manja, apalagi dengan cowok lain, Shaula cukup mandiri dengan dirinya dan memang harus mandiri karena bahkan sosok yang sebelumnya ada di sebelahnya tidak pernah bisa diandalkan.

“Lo kenapa?”

“Nggak apa-apa.”

“Pasti ada apa-apa.”

Shaula lupa kalau Bara adalah buaya, dia pasti paham kalau tidak apa-apanya cewek, pasti ada apa-apanya.

“Baru putus.”

“Ya udah yuk jadi pacar gue, gue jamin lo nggak bakal galau-galau lagi.”

“Gila lo ya!” Tentu tak semudah itu, Arsen terlalu berarti untuk secepat itu digantikan oleh orang lain.

“Gue nggak gila, gue cuma mau lo!”

“Tapi gue lagi nggak mau siapa-siapa,” jawab Shaula kalem, dia sedang tak minat ngegas.

“Kadang perlu orang baru untuk melupakan yang lama.”

Shaula menggeleng. “Gue masih mau menikmati kesendirian ini dan memikirkan gimana selanjutnya. Dia cukup berarti, ini semua nggak mudah buat gue.”

“Apa perlu gue pindah sekolah ke sekolah lo?”

“Nggak usah gila!”

“Rasanya gue bakal lebih gila kalau nggak memastikan lo baik-baik aja setiap hari.”

***


Do'ain ya, aku nggak pusing pusing mikirin viewers biar updatenya lancar jaya.

Shaula's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang