31. Berdua

26 12 10
                                    

Mulanya kedatangan Bara hanya untuk meminta maaf, tapi keduanya malah berakhir menghabiskan waktu di rooftop rumah Shaula sampai malam. Tugas matahari telah digantikan oleh bulan, semesta seolah sudah butuh istirahat namun kedua insan malah sibuk menghitung bintang. Angin menerbangkan anak-anak rambut milik seorang gadis yang perasaannya baru baik-baik saja beberapa menit lalu. Jari-jari milik Bara dengan santai memetik gitar mengalunkan lagu soal cinta, soal perasaan yang sebenarnya selalu ingin ia utarakan, tapi Shaula selalu tidak siap dengan itu.

Mereka selalu bisa menikmati waktu bersama, tapi tak pula bisa bersama dalam arti yang lain. Sepasang mata menatap sosok cantik di hadapannya, wajah itu selalu indah lebih indah dari nabastala yang dihiasi banyak bintang temaram ini.

Sepasang mata lainnya teralih pula menatap sosok yang memainkan gitar di sampingnya. Sosok yang sudah dia tolak mentah-mentah, sosok yang menjadi alasannya menangis tapi juga menjadi alasannya menghentikan tangis malam ini.

“Lo nggak sebel sama gue?” tanya Shaula.

“Daripada sebel, lo lebih enak untuk disayang.” Bukan Bara namanya kalau tidak membual.

Shaula langsung menatap malas kearahnya, tapi tak bisa berbohong dia menikmati petikan gitar Bara bahkan ikut bersenandung saat cowok itu bersenandung.

Meski sebelumnya menyebalkan tapi Bara selalu berhasil merubah suasana menyebalkan menjadi menyenangkan.

“Kayaknya nge-camp di sini seru deh.” Bukan Bara juga namanya kalau tidak random, entah pemikiran dari mana hingga bisa mencetuskan ide begitu.

“Nggak!”

“Lo mah nggak seru.”

“Kalau hujan di sini ngeri tau.”

“Ya kalau emang ngeri tinggal masuk ke dalam rumah.”

Shaula hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, Bara kalau diikuti akan jauh lebih aneh dari ini. Bara anaknya nekat, kalau Shaula bilang iya, dia tak akan segan-segan mendirikan tenda di sini.

Cowok itu tak melanjutkan permainannya.

“Kenapa berhenti? Katanya mau hibur gue,” ingatkan Shaula.

“Seru La, kayaknya kalau nge-camp di sini. Nanti gue pinjem tenda temen gue yang suka naik gunung.”

“Gila lo ya!”

“Ini udah yang kesekian kalinya lo bilang gue gila. Ya udah berarti gue emang gila,” ungkap Bara santai, bahkan sebelum Shaula sudah banyak orang yang mengatainya bangsat, anak haram dan semacamnya, jadi kalau Shaula mengatainya gila terdengar sangat biasa.

“Please, jangan nekat!”

“Lah suka-suka gue, nanti gue izin sama Mama.” Kalau jalur Shaula tidak bisa, maka dia akan mengambil jalur lain, tidak mungkin mama Shaula menolak permintaannya, apalagi permintaan itu bukan hal yang susah.

Shaula hanya memutar bola matanya malas, sekarang terserah Bara saja maunya gimana.

“Awas aja nanti ikut-ikutan.”

“Nggak bakal!”

“Nggak harus satu tenda juga sih, kan nanti juga nikah.”

“Nikah mulu otak lo!”

“Lucu aja kalau dibayangin, suatu saat lo ngelahirin bayi yang mukanya mirip sama gue.”

Shaula kembali menggeleng-gelengkan kepalanya, biarkan saja Bara dengan kehaluannya sendiri. Shaula sih kalau ada yang jauh lebih baik dari Bara akan menikah dengan seseorang yang jauh lebih baik.

“Halu!”

“Bissmillah aja dulu, belum hamil aja lo udah sebel sama gue.”

“Najis banget ngomongin begituan.”

“Apa gue hamilin sekarang aja? Soalnya kayaknya orang kayak gue umurnya nggak panjang, takutnya lo nyesel.”

“Apaan dah kalau ngomong!”

Setelahnya Bara tertawa. “Kentara banget tau lo takut kehilangan!”

“Lo sih ngomongnya sembarangan, belakangan kan kita sering bareng, kalau habis ngumpul gini lo tiba-tiba meninggal kan nggak lucu!”

Bara tertawa lagi. “Masih ada beban gue kalau meninggal sekarang.”

“Beban apa?”

“Belum sempet ngebahagiain lo!”

Shaula kembali memutar bola matanya, apa pun yang keluar dari mulut Bara terdengar sangat omong kosong dan Shaula malas mendengar semua itu.

“Gue nggak punya rumah, sekarang gue nggak punya uang, boleh nggak gue tinggal di sini? Itu kan ada gudang, barang-barang gue nggak banyak kok.” Entah sejak kapan pembicaraan ini berubah menjadi serius, jujur Shaula agak kaget mendengarnya.

“Lo beneran nggak punya ortu?”

Sialnya setelah itu ekspresi wajah Bara berubah membuat Shaula semakin merasa bersalah telah menanyakan hal sensitif tersebut.

“Lo mau denger cerita menyedihkan?” tanya Bara.

Shaula menggeleng, dia sudah selesai dengan air matanya tadi sore dan malam ini dia hanya ingin menikmati angin malam, hanya angin malam, tanpa air mata dan kesedihan lainnya.

“Kalau gue punya hidup gue nggak bakal gini, La!”

Gitar yang semula ada di pangkuan Bara sudah berpindah ke sebelahnya disandarkan ke dinding pembatas antara rooftop dan dunia luar. Padahal beberapa menit lalu suasana masih sendu, keduanya masih menikmati waktu dan nyanyian dari petikan gitar yang Bara mainkan.

“Ya udah.”

“Apa?”

“Lo boleh tinggal di sini,” putus Shaula.

“Bener?”

Shaula mengangguk. Nanti dia akan meminta izin pada mamanya, mamanya pasti akan mengizinkan mengingat mamanya sangat mudah iba sementara kisah Bara benar-benar menyedihkan.

“Main gitar lagi dong, gue masih sedih nih!”

Dengan senang hati Bara kembali memeluk gitarnya dan memainkannya untuk Shaula. Apa sih yang nggak untuk Shaula? Bahkan jika cewek itu meminta seluruh dunianya mungkin dengan senang hati Bara akan memberikan itu.

Bara tersenyum ke arah Shaula, kecantikan sosok disebelahnya ini selalu bisa menenangkan duanianya yang gemuruh. Selalu mampu memberikan penaungan atas segala gundah yang Bara curahkan.

“Cantik...”

“Hah?” tanya Shaula.

“Bukan kuingin mengganggumu...”

Setelahnya Bara tertawa karena Shaula kepedean duluan.

“Tapi apa arti merinduuuu...”
“Selaluuuu...”
“Walau mentari terbit di utara, hatiku hanya untukmu...”
“Ada hati yang termanis dan penuh cinta, kan kujaga kan kujaga seisi jiwaaa.”
“Tiada lagi, tiada lagi yang ganggu kita... ini kesungguhan, sungguh aku sayang kamu.”

Sebuah lagu berjudul Cantik yang dipopulerkan oleh Kahitna mengalun indah dari bibir Bara, menjadi teman Shaula malam ini.

***






Shaula's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang