19. Menyerah

26 12 4
                                    

Meski sebenarnya sangat ingin terus memastikan Shaula hidup dengan baik, nyatanya Bara tetap harus pulang melanjutkan kembali hidupnya, Shaula belum masuk sekolah, itu membuat Bara juga malas berada di sekolah. Dia tidak masuk dan melanglang buana naik motor keliling-keliling kota. Pikirannya tentu saja tertuju pada satu tuju, siapa lagi kalau bukan Shaula.

Bara menepikan motornya di warung pinggir jalan, cowok itu berjalan ke kulkas mengeluarkan sebotol minuman, membayarnya setelah itu berjalan ke bawah pohon menikmati angin pagi di sana, jam sembilan masih pagi kan? Bara akan selalu kesepian sekalipun dia pulang, karena di tempat yang dia sebut rumah, di sana tidak ada yang benar-benar menjadi tempat pulang.

Tangannya merogoh saku, mengeluarkan benda pipih yang selalu menjadi temannya.

“Udah makan?” tanyanya, dulu dia selalu mengira pertanyaan semacam ini teramat basi, tapi setelah Shaula benar-benar jarang makan pertanyaan itu jadi sangat penting, Bara takut kehilangan kalau sampai sang pacar tidak makan.

“Udah,” jawab Shaula dari seberang sana, syukurlah karena gadis itu mau menjawab.

“Emangnya nggak di sekolah Bar?” tanya Shaula, di jam segini tentu saja biasanya jam belajar mengajar sedang berlangsung.

“Karena nggak ada kamu, sekolah jadi nggak menyenangkan.” Setelahnya Bara menenggak minumannya sendiri, dia ingin selalu jujur dengan Shaula. Entah untuk sekarang karena hubungan mereka masih baik-baik saja, entah sampai nanti, sampai Bara mungkin bosan?

Helaan napas terdengar, cowok seperti Bara memang berpotensi membuat pusing. “Jangan kayak gitu Bar,” ujar Shaula, ya bagaimanapun Bara sudah kelas dua belas, dia tak boleh sering-sering bolos.

“Iya.”

“Balik sana.”

“Nggak mau!”

“Ck!”

“Aku udah bandel kok sebelum ketemu kamu, jadi jangan merasa bersalah.” Bara menjelaskan seolah tidak apa-apa melakukan hal semacam itu, padahal itu sangat salah, setidaknya di mata Shaula.

Shaula diam sejenak. “Seharusnya kalau sayang aku itu jadi alasan untuk kamu sedikit berubah.”

“Aku berusaha jadi lebih baik kok, tapi ya emang cuma sedikit.”

Memangnya apa yang Shaula harapkan? Dia mungkin berhasil menjadi pacar Bara dan itu sama sekali tidak menjamin bahwa benar dia adalah perempuan yang Bara inginkan. Karena biasanya seseorang akan benar berubah kalau dia sayang.

“Terserah deh,” kata Shaula enggan ambil pusing, Bara adalah sebagian kecil dalam hidupnya dan Shaula terlalu malas pusing untuk hal remeh-temeh.

“Kok gitu?”

“Emangnya kalau aku paksa, bujuk-bujuk gitu kamu jadi balik ke sekolah?” tanya Shaula, gadis itu yang semula berdiri memandangi halaman dari jendela kamarnya kini mendudukkan diri di sofa.

Bara tertawa. “Ya nggak sih.”

“Ya udah.”

“Larang aku kek.”

“Mau dilarang apa? Dilarang bandel? Bukannya itu udah bawaan ya, lagian kalau sayang sama diri sendiri juga nggak bakal bandel.”

Bara tertawa lagi. “Jujur banget jadi orang.”

“Emangnya mau sama tukang bohong?”

“Pengen nyubit pipi kamu tau nggak!”

Kali ini Shaula yang tertawa, beruntung mereka hanya tersambung via telepon, jadi pipinya tak akan menjadi korban.

Shaula's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang